Gedung Balai Diklat Keuangan Malang Tampak Samping

Departemen Keuangan Republik Indonesia Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Balai Diklat Keuangan Malang Jl. Jendral Ahmad Yani Utara No. 200 Malang

Best Moment Dinamika STAN 2014

Foto angkatan 2014 mahasiswa STAN prodip perpajakan dan bea cukai pasca-studi perdana memasuki kampus (dinamika)

Capacity Building Mahasiswa Prodip I Keuangan STAN BDK Malang

Capacity Building dalam bentuk Holiday Camp di Markas Paskhas TNI AU Abdurrachman Saleh, Malang pada tanggal 8-10 Desember 2014

Kunjungan Direktur STAN

Dokumentasi Direktur STAN Bapak Kusmanadji dengan kepala Balai Diklat Keuangan Malang Bapak Budi Setiawan

Kunjungan Direktur STAN

Audiens mahasiswa STAN 2013 prodip pajak dan beacukai pada sesi I dan mahasiswa baru STAN 2014 prodip pajak dan bea cukai pada sesi II

Pegawai BDK Malang

Dokumentasi Bapak dan Ibu Pegawai Balai Diklat Keuangan Malang

Jumat, 20 Maret 2015

Kashva: Sang Pencari Asvat Ereta Part 3



Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh,
            Kali ini updatenya agak cepat karena saya sudah mengerjakannya selama liburan. Sewaktu menulis chapter ini, saya selalu berusaha menunda-nunda menyelesaikannya karena merasa tidak kuat kalau harus membaca ulang buku tersebut lebih jauh lagi. Ugh, itu karena chapter ini merupakan pembukaan dari segala rasa pedih dan penderitaan yang akan dialami Kashva dalam perjalanannya mencari Asvat Ereta. Alhamdulillah, setelah dua hari begadang, akhirnya saya berhasil menyelesaikan chapter ini.
            Oh, ya! Saya masih menunggu pemenang berikutnya, lho! Pertanyaannya masih sama:
       COBA TEBAK SIAPA KASHVA?
Ketentuan: Cerita berjudul “Kashva: Sang Pencari Asvat Ereta” ini akan hadir secara bersambung dan diupdate Insya Allah setiap 3 sampai 6 hari sekali. Cerita akan diupload di blog stan2014bdkmalang.blogspot.com. Bagi yang berminat, untuk menjawab pertanyaan diatas, silahkan mengirim jawaban dan alasan ke nomor 085736588692. Bagi penjawab pertama, kedua, dan ketiga yang mampu menjawab dengan benar, akan mendapat hadiah sederhana. Cerita ini Insya Allah akan berakhir di Chapter 5.
            Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh
Salmatun Niswa




Sebelumnya:
Masya tampak menimbang-nimbang. Tatapannya masih datar namun dia tampak berpikir. Mungkin dia akhirnya akan berubah pikiran dan mengikutinya ke Suriah. Setidaknya, itulah pikiran Kashva sebelum sebuah tinju melayang ke arahnya. Yup, Mashya meninjunya hingga pingsan.
Chapter 3: Astu
            Kashva bangun di tempat yang asing baginya. Dia memegangi rahangnya yang masih berdenyut-denyut. Bengkak, namun tidak menggembung dan masih terasa sakit. “Mashya…..lancang.”, gumamnya setelah mengingat apa yang dia alami sebelumnya. Kashva segera bangkit dan melihat sekelilingnya. Kotak kayunya tergeletak disampingnya. Punggungnya bersandar pada sebuah batang pohon berdaun lebat. Hari sudah malam dan nampak nyala beberapa api unggun tak jauh dari tempatnya berada. Aku berada di perkampungan penduduk.
            Api unggun itu berjumlah tujuh buah dan masing-masing dikelilingi oleh beberapa orang sehingga tampak ramai. “Tujuh api unggun.”, batin Kashva. Dia segera ingat kepercayaan masyarakat Persia. Tujuh adalah bilangan ganjil pembawa keberuntungan. Kashva sendiri justru tidak terlalu percaya dengan mitos seperti itu. Seorang laki-laki berdiri di depan api unggun pertama dan mulai berkomat-kamit. “Sorkhi ye to az man o zardiye man be to. Berikanlah binar merah kesehatanmu padaku dan ambillah rona pucat kesakitanku., bisik Kashva. Dia yakin, pasti laki-laki itu menggumamkan doa yang sama.
            “Kau!”, seru Kashva.
            Kemarahan seketika muncul dari dada Kashva. Raksasa itu—Mashya—tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya. Meski gelap menyembunyikan detail wajahnya, Kashva yakin dia tidak akan keliru. “Kau pikir siapa dirimu?”
            Mashya tidak menjawab. Dia justru menyodorkan sebuah pir kepada Kashva.
            “Harusnya aku membalas perbuatanmu. Kau beruntung aku tidak menyukai kekerasan.”, ucap Kashva. Dia meraih pir tak bertuan yang disodorkan oleh Mashya. Ekspresi Mashya masih sedingin es, namun Kashva bisa meihat ketulusan dari matanya, meski sedikit. 
            “Kau menggendongku sejauh ini?”, tanya Kasvha sambil mengunyah pirnya perlahan. Mashya duduk disebelahnya, masih diam. Tatapan matanya menerawang entah kemana. Meski tak yakin berapa lama dia pingsan, Kashva yakin itu cukup lama. Selama itu pula, Mashya menggendongnya di punggung atau di bahunya. Sebuah pekerjaan yang patut dihargai.
            “Berbicaralah sedikit.”, kata Kashva. “Itu tidak akan mengurangi keangkeranmu.”
            Dia kembali menoleh ke arah Mashya, “Kau tidak makan?”
            “Sebuah keluarga mengundang kita untuk makan malam. Kita kesana sekarang.”, jawab Mashya sambil berdiri.
            “Diundang? Kau punya kenalan disini?”
            Mashya menggeleng.
            “Kalu begitu aku tidak mau ikut. Jangan-jangan mereka terpaksa karena takut denganmu.”
            Mashya membelalakkan matanya. Mulutnya terbuka dan bergerak-gerak, namun tidak mengeluarkan suara apapun.
            “Kalau kita memang  harus makan dirumah mereka, setidaknya berikan uang ini untuk mereka.”, Kashva mengeluarkan beberapa koin dari kantongnya dan menyerahkannya pada Mashya. Masyha sendiri tampak enggan dan tidak mau mengambilnya.
            “Kalau kau tidak mau memberikan uang ini untuk keluarga itu, sampai matipun aku tidak mau pergi kesana dan kau tidak akan bisa memaksaku.”, suara Kashva menegar. Tangannya yang memegang koin masih menjulur ke arah Mashya.
            Mashya masih tidak mengeluarkan suaranya. Dia hanya meraih koin itu lalu berbalik dan mulai berjalan. Kashva mengikutinya dari belakang tanpa berniat menyamakan langkahnya. Rumah yang mereka datangi tersusun dari bata merah dengan halaman yang ramai dengan pohon ceri. Agak beda dengan rumah Persia normal yang pada umumnya terbuat dari beton putih. Tuan rumahnya adalah seorang lelaki keriput yang tampak ramah. Sebelum memasuki rumah itu, Kashva mengamati ekspresi lelaki tua itu. Mata cekungnya, ekspresi wajahnya, bahasa tubuhnya. Kashva yakin dia bisa menyadari jikalau ada pemaksaan dibalik sikap sang tuan rumah. Sementara waktu, dia percaya semua baik-baik saja.
Dua Hari kemudian
            Kashva sudah hampir menyerah mencoba berbicara dengan Mashya. Raksasa itu selalu menjawab seperlunya jika Kashva mengajaknya bicara. Itu jika beruntung. Tak jarang Mashya menanggapi ucapan Kashva dengan diam.
            “Aku mau istirahat dulu.”, Kashva menghentikan langkahnya di pinggir aliran sungai. Desa Gathas sudah ada di depan mata, hanya tinggal berjalan beberapa puluh meter lagi.
            “Kita beristirahat disana.”, Mashya menunjuk perkampungan.
            “Kau kesanalah dulu. Aku ingin sendiri. Nanti aku menyusul.”, Kashva duduk dan menyandarkan punggunggnya di batang pohon. Kotak kayunya dia geletakkan tepat disampingnya. Terasa beban berat dipunggungnya sudah hilang, berganti dengan beban berat yang terasa di dadanya.
            Mashya masih tidak mengeluarkan suara, hanya mulutnya yang bergerak-gerak seperti sedang mengunyah. Mungkin dia sedang mengunyah kekesalannya, Kashva tidak peduli. Mashya berbalik dan berjalan pergi. Dia sebenarnya tidak sepenuhnya meninggalkan kashva sendirian, Mashya hanya menghilang di balik pepohonan untuk mencari tempat yang nyaman selama menunggui Kashva.
            Beban  berat yang ada di dadanya sudah ada sejak Mashya memutuskan mereka akan ke Gathas. Hanya saja, beban itu terasa bertambah-tambah seiring dengan semakin dekatnya mereka di Gathas. Kashva menghela napas panjang dan mengeluarkannya perlahan, seakan berharap dengan itu bisa menghilangkan beban berat di dadanya. Pikirannya mulai menerawang. Gemerisik suara air sungai membantunya mengingat kejadian sepuluh tahun lalu secara jelas. Terasa seperti kemarin.
Flashback: Sepuluh tahun lalu
            “Aku kelelahan.”, suara gadis itu membuat Kashva tersenyum.
            “Apakah kau lelah bicara denganku?”
            “Ya, aku lelah bicara denganmu.” Wanita bernama Astu itu menjawab sambil tersenyum, membuat perkataannya tidak cocok dengan ekspresi wajahnya.
            Wajah manis itu membuat Kashva tersenyum. Bukan senyum yang bisa mengobati perasaannya sekarang ini, namun senyum yang bisa menghilangkan sejenak rasa sakit yang dirasakannya sekarang. Gadis bernama Astu itu sibuk berbicara mengenai mengenai ajaran Zardhust dan juru selamat sedangkan pikiran Kashva sedang sibuk mengembara. Kashva jauh-jauh datang dari kuil Gunung Sistan untuk bertemu dengan Astu, putri Yim yang kedua. Kashva mendesah, dia tidak mengharapkan sesuatu yang muluk-muluk. Dia akan datang untuk Astu demi alasan apapun asalkan jangan ini, asalkan bukan karena Astu akan menikah dengan anak kepala desa Gathas.
            Hanya dengan mengingat alasan Kashva ada di Gathas sudah cukup membuat dadanya berdenyut, mungkin mati rasa lebih baik. Pernikahan Astu dan anak kepala desa Gathas merupakan perjodohan yang dilakukan oleh kedua orang tua mereka. Anak kepala desa itu tampak tidak keberatan, entah bagaimana dengan Astu. Lagipula, meskipun Astu keberatan ataupun tidak, hal itu tetap tidak akan mempengaruhi pernikahannya jika mengingat derajat wanita di Persia. Jadi, inilah mereka. Duduk berdua di pinggir desa Gathas, mungkin untuk terakhir kalinya.
Flashback End
            Kashva menghentikan kenangan-kenangan yang berjumpalitan dalam pikirannya. Dia tahu dia harus segera menyusul Kashva atau Mashya akan menjemputnya. Dia tidak pernah keberatan dijemput seseorang, asalkan bukan raksasa yang tidak segan-segan menggunakan tinjunya. Kashva bangkit dan mulai berjalan menuju desa. Mashya diam-diam ikut bangkit dan mulai berjalan dibelakangnya.
            “Paman.”
            Kashva tersentak, matanya memandang sosok kecil di samping kakinya. Senyumnya menggemaskan, pipinya tembam, lensa matanya coklat dan bulat sempurna. Bocah yang barangkali turun dari surga. Umurnya empat atau lima tahun. Berdiri dengan tangan menyatu di belakang, menyembunyikan sesuatu, dan tubuh mengayun ke kiri-kanan.
            “Siapa namamu, sayang?”
            “Paman, kunyah ini.”
            Bukan jawaban, namun permintaan. Tangan mungil gemuknya menyodorkan sebentuk bunga kering berwarna gelap.
            “Apa ini?”
            “Paman, kunyah ini.”
            Ekspresi Kashva berusaha mengimbangi gaya si bocah. Dia tersenyum dan kedua alisnya terangkat. Seolah-olah ingin mengatakan, “Aku tahu kau merencanakan sesuatu yang kekanak-kanakan. Sesuatu yang akan membuatku tampak konyol sedangkan kau tertawa terbahak-bahak.” Kashva menjumput bunga itu.
            Si bocah berkata, “Paman, letakkan bunga itu di bawah lidah.”
            Kashva menuruti keinginan teman kecilnya. Seketika matanya membelalak. Ada yang meledak di mulutnya. Rasanya seperti mengunyah bara api. Kulit wajahnya memerah seketika. Lidahnya kehilangan kemampuan mengecapnya. Kashva mendengar bocah itu tertawa penuh kemenangan sementara dia merasakan paru-parunya seperti dijejali dorongan  yang berat tetapi menjadikannya lapang.
            “Apa yang kau berikan pada Paman, Berandal Kecil?” Kashva menggendongnya dan mulai menciumi pipi gembilnya. Bocah itu masih tertawa terbahak-bahak sementara suara tawanya menjadi petunjuk arah bagi seseorang yang sedari tadi memang mencarinya.
            “Xerxes, kenakalan apalagi yang kau lakukan?”
            Suara perempuan. Terdengar tenang dan penuh perhatian. Seorang wanita mengenakan topi petani menghampiri mereka. Perempuan itu membawa dua keranjang yang berisi kurma dan plum di kedua tangannya. Kashva menganggukkan kepalanya, sementara bocah itu meletakkan kepalanya pada bahu Kashva—pura-pura tidur.
            “Maaf atas kelancangan anak saya. Dia merasa melakukan penemuan besar dengan bunga cengkihnya. Mengerjai orang-orang dengan rasa pedasnya.” Si ibu menunjukkan rasa bersalah dari gerak tubuhnya yang gelisah.
            “Cengkih?” Kashva baru pertama kali mendengar dan merasakan efek bunga kering itu.
            Perempuan itu mengangguk. Ada yang berubah dari gerak-geriknya. Dia seperti sedang melakukan konfirmasi dengan pandangannya sedangkan mulutnya terus berbicara. “Cengkih, ratunya rempah-rempah. Datang dari ujung dunia. Hanya tumbuh di sekumpulan pulau yang mengambang ditengah samudera: Alifuru” Jeda sejenak. “Saya benar-benar minta maaf.”
            “Dia sangat menyenangkan, Nyonya. Tidak merepotkan sama sekali.”
            Perempuan itu meletakkan kedua keranjangnya lalu membuka topinya. “Kau sudah datang rupanya, Kashva.”
            Kashva merasakan perasaan yang tak dikenalnya muncul. Bibirnya terasa beku, Jantungnya terasa dirajam. Kakinya terasa mengambang. Dia mengenali wajah wanita itu meski penuh ragu. “Astu? Kaukah itu?”

Insyaa Allah bersambung

Kashva: Sang Pencari Asvat Ereta Part 2



Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh…
Maaf apabila chapter lanjutannya lama sekali. Tolong dimaklumi karena saya terhalang oleh UAS dan liburan, jadi yaaahhh baru sempat melanjutkan sekarang.
Oh ya!‼ Mengenai pertanyaan yang saya ajukan di chapter pertama, sudah ada pemenang pertama, lho! Penasaran siapa pemenangnya?? Yup, siapa lagi kalau bukan Mas Adi sang ketua Rohis. (Maaf hadiahnya belum sempat saya berikan)
Dengan ini, maka hadiah sederhananya masih tersisa untuk dua orang lagi. Saya masih menunggu pemenang kedua dan ketiga. Bagi yang lupa pertanyaannya, silahkan baca di bawah ini.
Pertanyaan: Coba tebak siapa Kashva?
Ketentuan: Cerita berjudul “Kashva: Sang Pencari Asvat Ereta” ini akan hadir secara bersambung dan diupdate Insya Allah setiap 3 sampai 6 hari sekali. Cerita akan diupload di blog stan2014bdkmalang.blogspot.com Bagi yang berminat, untuk menjawab pertanyaan diatas, silahkan mengirim jawaban dan alasan ke nomor 085736588692. Bagi penjawab pertama, kedua, dan ketiga yang mampu menjawab dengan benar, akan mendapat hadiah sederhana. Cerita ini Insya Allah akan berakhir di Chapter 5.
            Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh
Salmatun Niswa

Sebelumnya:
“Baginda, Bangsa Persia sudah tidak mampu menjaga keutuhan ajaran Zardusht. Kita mulai mencampakkan perjanjian api dengan Tuhan. Bangsa ini menuju ke dalam remah-remah suatu kaum dan kitab suci mulai menjadi remah-remah sebuah agama. Sekarang ini, Baginda, Nun jauh disuatu tempat, seorang pria nan mulia telah menyempurnakan ajaran Zardusht. Bukankah ini waktunya bagi kita untuk menyambut dan mengikutinya?”
                Sang Raja tercekat. Dadanya bergemuruh menahan kemarahan. Berusaha tetap tenang, Sang Raja berucap, “Kashva. Seharusnya sekarang aku memerintahkan algojoku untuk memenggal kepalamu. Membiarkan kepalamu menggelinding dan darahmu mengotori lantaiku.”

Chapter 2 : Awal Pelarian
                Suara Khosrou menggelegar diikuti dengan kesunyian yang mencekam. Rakyat menahan napas, pembesar kerajaan terpaku, sedangkan Kashva hanya diam dan pasrah terhadap apa yang akan menimpanya.
                “Namun aku masih mengasihi usia mudamu, gejolak remajamu, kecermelangan otakmu, dan keindahan sastramu. Karena itulah, kuperintahkan kau kembali ke Kuil Gunung Sistan untuk menghakimi dirimu sendiri. Renungkan kelancanganmu sampai kuampuni nyawamu secara penuh.” Sang Raja berdiri dengan cepat. Tangannya menunjuk Kashva dengan emosi, “Kau pikir di kolong langit ini ada kekuatan yang mampu mengotori tanah Persia? Merendahkan kekuasaan penerus Darius?”
                Kashva hanya bisa diam dan mendengarkan. Dia berusaha agar tidak terlihat gentar mengingat penguasa nomor satu di Persia sedang membentak padanya. Mesipun diam, dia sedang membulatkan tekat. “Aku akan meninggalkan Persia!”, batin Kashva ketika sang Raja berbalik meninggalkannya.

Kuil Gunung Sistan, Persia
                Tanpa membuang waktu, Kashva segera berkemas. Dia memasukkan beberapa keping koin emas dan bergulung-gulung papirus—kertas berupa daun lontar—ke dalam kotak kayu. Dia menjaga gulungan-gulungan itu bagaikan nyawanya sendiri, melebihi perlakuannya terhadap kitab Zardhust. Padahal, gulungan-gulungan itu hanya berisi tulisan-tulisan dari teman-temannya dari berbagai pelosok dunia. Selama tinggal di kuil Gunung Sistan selama kurang lebih sepuluh tahun, Kashva selalu berkirim surat dengan keempat sahabat penanya. Pemikir di India, seorang rahib yang tinggal di biara yang berada di lereng Gunung Anyameqen di Tibet, seorang penjaga sinagog—gereja agama Yahudi—di  Mesir, dan Penjaga perpustakaan biara di Bashrah, Suriah. Selama bertahun-tahun, kelima orang dengan agama yang berbeda ini selalu berkirim surat bertemakan Juru Selamat yang akan muncul berdasarkan versi mereka sendiri-sendiri. Surat-surat itulah harta Kashva yang paling berharga.
                Menurut Kashva, penjaga perpustakaan biara dari Bashrar merupakan temannya yang paling istimewa. El, namanya. Surat-suratnya selalu datang membawa pendapat dan kisah-kisah menarik seputar sang Juru selamat. Kashva tersenyum mengingat surat-sirat dari El. Dia menggulung surat-suratnya dengan hati-hati dan bergumam, “Kita akan segera bertemu, sahabatku. Aku akan ke Suriah. Ya..…menemuimu adalah tujuan yang paling masuk akal dalam pelarian ini.”
                Usai memasukkan gulungan terakhir dari El ke dalam kotak kayu miliknya, Kashva mengedarkan pandangannya pada ruang kerjanya. Ada rasa kepiluan mengingat dia mungkin tidak akan pernah kembali ke tempat itu lagi. Kashva bisa saja memilih untuk tetap tinggal, hidup berkecukupan, dan dihormati andaikan dia tetap bungkam terhadap adanya Juru selamat yang akan menduduki Persia dan membenarkan ajaran Zardhust. Namun, hasratnya terhadap kebenaran mengalahkan semuanya. Dia tahu dan harus menyampaikan.  Dia memilih pergi dari Persia, meninggalkan semuanya daripada bungkam tanpa berbuat apa-apa.
                “Makan malam sudah siap Tuan.”, sebuah suara membawanya kembali ke dunia nyata. Kashva menoleh dan mendapati Yim, kepala rumah tangga di kuil tersebut, sedang melongokkan kepalanya dari balik pintu. Yim awalnya adalah seorang lelaki miskin dari sebuah desa terpencil di Persia. Dia memulai semuanya dari nol hingga diberi kepercayaan oleh sang Raja untuk menjadi pengurus Kuil Gunung Sistan. Kini diusianya yang sudah kepala 8, dia masih bekerja di tempat yang sama dan menjadi orang terdekat Kashva. Kashva sendiri sudah menganggapnya sebagai ayah.
                Kashva mengikuti Yim menuju ruang makan. Tampak banyak sekali hidangan mewah yang nampak rapi diatas meja panjang yang ada di tengah ruangan. Kontras dengan makanannya, kursi-kursi yang mengelilingi meja tersebut justru tampak kosong, tanpa penghuni.
                “Sepi sekali. Mana yang lain, Yim?”, tanya Kashva
                “Mereka semua menghadiri festival musim semi di kota, Tuan.”, jawab Yim santai
                Kashva menatapnya dengan tatapan heran, “Yim, jika semuanya menghadiri festival sedangkan kau ada di sini bersamaku, kau pasti akan dicurigai membantuku melarikan diri. Itu bukan alibi yang bagus, Yim.”
                “Tuan, untuk apa saya melihat festival musim semi? Jika dihitung mulai saya berusia sepuluh tahun, berarti sudah 70 festival yang saya lewati.”
                Kashva mengalah dalam perdebatan tersebut dan memilih duduk di meja makan. Dia tahu bahwa keputusan Yim tidak dapat diubah sedikitpun. Kashva mengambil hidangan yang ada di depannya sambil berpikir. Inilah makan malam terakhirnya di Kuil Gunung Sistan.

Di Pinggir sungai Mughrab
                Kashva merapatkan penutup kepalanya yang terbuat dari kulit, seolah berharap dengan begitu wajahnya bisa tersamarkan. Namun, siapa yang tidak kenal Kasvha yang dijuluki sebagai Pemindai Surga? Kashva sudah berjalan cukup jauh dari gunung Sistan. Inilah jarak terjauh yang pernah dilaluinya dengan jalan kaki. Atas panduan Yim, Kashva diminta untuk menunggu datangnya orang bernama Mashya di sekitar sungai Mughrab, tepatnya di samping Makam Cyrus—penguasa Persia yang pertama. Mashya adalah orang kepercayaan Yim yang akan membantu pelarian Kashva. Kashva sendiri sadar, dia tidak akan selamat dari kejaran tentara Persia jika mengandalkan dirinya sendiri. Tubuhnya jarang dilatih bela diri, pengetahuannya seputar jalan-jalan di Persia terbatas, ditambah kenyataan dia sangat jarang keluar dari Kuil Gunung Sistan sejak sepuluh tahun terakhir. Kashva benar-benar butuh bantuan.
                Sembari menunggu, dia mengamati teks yang tertulis di dinding putih makam Cyrus.
Selamat datang, peziarah. Aku telah menantikanmu, di hadapanmu Cyrus berbaring, Raja Asia, pemimpin dunia. Yang tertinggal dari dirinya hanyalah debu. Janganlah kau iri padaku.
Kashva mendesah. Dia memahami pesan yang tertulis dari teks itu. Dia juga paham bahwa ada semangat milik Cyrus yang tidak diwariskan kepada para penerus Persia setelahnya. Saat dia tengah melamun, terdengar suara gemerisik dari balik pepohonan. Dia segera berdiri dan bersiaga sembari menajamkan pendengarannya. Suara itu semakin dekat. Terdengar jelas suara jejak kaki yang mendekati tempatnya berdiri.
“Tuan Kashva?”, sebuah suara terdengar dari belakangnya.
Kasvha berbalik dan melihat sesuatu yang tidak pernah terlintas dipikirannya. Sesosok raksasa! Paling tidak manusia yang menyerupai raksasa. Berdiri angker dengan kepala plontos. Tingginya sekepala diatas Kashva. Kashva mulai membayangkan orang itu bisa saja meremukkan tulang-tulangnya hanya dengan menautkan kedua lengannya. Lengan yang mengembung seukuran paha lelaki kebanyakan. Mungkin Kashva berlebihan. Mungkin lengannya tidak sebesar paha lelaki kebanyakan, namun tetap saja ukuran tubuhnya tidak bisa disebut normal. Bukan hanya tubuh, wajah raksasa itu juga tidak wajar. Wajahnya menceritakan kepribadian yang pendiam namun sarat dengan rasa marah.  Dahinya seperti selalu berkerut, menahan beban kegusaran. Ekspresi bibirnya datar, tidak menyeringai namun juga tidak tersenyum. Di malam yang gelap saat itupun, wajahnya jelas tampak serius dan…… beringas.
“Engkau Mashya?”, tanya Kashva setelah pulih dari kekagetannya.
Bukannya menjawab, raksasa itu justru berkata, “Tempat ini tidak aman. Kita akan pergi ke Gathas. ”
Kashva terkejut. Untuk apa mereka ke Gathas? Tempat itu berlawanan arah dengan tempat tujuannya—Suriah—ditambah dengan masa lalunya yang menyedihkan di tempat itu sepuluh tahun lalu. Tidak! Dia tidak sudi pergi ke Gathas!
“Mashya, aku tidak mau pergi ke Gathas. Aku ingin pergi ke Suriah.”
“Tuan Kashva, semua orang tahu bahwa tujuanmu pastilah Suriah. Raja pasti sudah mengetatkan jalur-jalur menuju kesana. Sekarang kita harus ke Gathas. Setidaknya disana kita masih aman untuk sementara.”, ucap Masya masih dengan ekspresi dan nada yang datar.
Kali ini, Kashva tidak menjawab. Dia tahu bahwa alasan Mashya bahwa Raja mungkin sudah mengetatkan jalur menuju Suriah memang masuk akal. Tapi dia masih belum mau pergi ke Gathas. Kashva sadar bertengkar dengan Mashya hanya akan membahayakan nyawanya, maka dia lebih memilih untuk menurut. Setidaknya, untuk sementara waktu.
Mashya segera berbalik dan mulai melangkahkan kakinya. Langkah kakinya begitu lebar sehingga Kashva harus berlari untuk menyusulnya.  Hal itu tidak mudah bagi Kashva. Dia baru saja menuruni Gunung Sistan dan bergegas menuju makam Cyrus yang jaraknya berpuluh-puluh kilometer. Semuanya dilakukan dengan jalan kaki. Jadi, masuk akal jika sekarang Kashva berlari sambil ngos-ngosan. Setelah sejajar dengan Mashya, Kashva mendongak dan bertanya, “Mana kudamu , Mashya?”
Mashya berhenti seketika. “Tidak ada kuda. Kita jalan kaki.”, jawabnya masih dengan wajah datar. Kontras sekali dengan wajah Kashva yang berubah terkejut.
“Tidak ada kuda? Bagaimana mungkin kita ke Gathas hanya dengan jalan kaki? Berapa lama kita bisa sampai di Gathas?”
Masya menyipitkan matanya, “Dengan langkah kakimu yang seperti itu,  kita baru bisa sampai setidaknya satu minggu.” Itu adalah ejekan Mashya yang pertama.
“Satu minggu? Jalan kaki? Tidak! Aku tidak mau. Lagipula untuk apa kita ke Gathas? Daripada jalan kaki ke Gathas, lebih baik aku ke Suriah. Dan lagi Masya, kau diminta oleh Yim untuk membantu pelarianku. Berarti yang berkepentingan disini adalah aku. Dan aku adalah majikanmu. Jadi aku yang mengatur, bukan kau Mashya. Sekarang kita akan ke Suriah dan kau yang jadi pemanduku.” Kashva sudah mulai kesal dengan mashya. Dia tidak mau ke Gathas, apalagi jika menempuh waktu satu minggu jalan kaki.
Masya tampak menimbang-nimbang. Tatapannya masih datar namun dia tampak berpikir. Mungkin dia akhirnya akan berubah pikiran dan mengikutinya ke Suriah. Setidaknya, itulah pikiran Kashva sebelum sebuah tinju melayang ke arahnya. Yup, Mashya meninjunya hingga pingsan.

                                    Insya Allah bersambung

Jumat, 06 Maret 2015

RAHASIA DIBALIK SURAT AL-IKHLASH




Oleh : Muhammad Rizky Hilmy Pajak C
 


AL-IKHLAS adalah surat yang mengandung tentang ke Esaan Allah, selain itu banyak lagi yang dijelaskan di dalam surat al-ikhlas. Al-Ikhlas pun sering kita jadikan surat yang dibaca ketika shalat sunnah ataupun ibadah yang lainnya.
Mengenai surat Al-Ikhlas Rasulullah SAW pernah bertanya sebuah teka-teki kepada sahabat2nya: “Siapakah antara kamu yang dapat mengkhatamkan al-qur an dalam jangka masa singkat (dua-tiga minit)?” Tiada seorang dari sahabatnya yang menjawab. Malah Sayyidina ‘Umar bin Khattab r.a. (Radliyallahu ‘anhu) telah mengatakan bahwa mustahil untuk mengkhatamkan Al-Qur an begitu cepat. Kemudian Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib. Mengangkat tangannya, menyatakan kesanggupan.Sayyidina ‘Umar berkata kepada Sayyidina ‘Ali bahwa Sayyidina ‘Ali (yang masih muda pada waktu itu) mungkin tidak tahu apa yang dikatakannya itu.
kemudian Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib membaca “surah al-ikhlas” tiga kali. Rasulullah SAW menjawab dengan mengatakan bahwa Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib benar. Kemudian menerangkan bahwa membaca Surah Al-Ikhlas sekali, ganjarannya sama dengan membaca 10 juz kitab Al-Quran atau sepertiga Al-Qur an…. jika membaca “surah al-ikhlas” sebanyak tiga kali khatamlah al-quran, karena dengan membaca sebanyak tiga kali, sama seperti dengan membaca seluruh 30 juz Al-Quran.
Dalam sabda Nabi SAW, “Qulhuwallahuahadun ta’dilu tsulusal qur’aan”, yang artinya surat Qulhuwallahu Ahad sebanding dengan sepertiga Al-Quran, (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nas’I, Tirmidzi, Ibnu Majah)
Pertanyaannya, apakah dengan pahala yang disabdakan Rasul mengenai bandingan bacaan dalam surat al-ikhlas akan mendapat ganjaran sama sepertiga Al-Qur’an, lantas apakah tidak perlu membaca Qur’an lagi ?
Sesungguhnya karunia Allah sangat luas.Dia telah memberi banyak karunia kepada ummat ini. Dia mengganti pendeknya usia dengan tambahan pahala atas amalan yang sedikit. Yang mengherankan, hal itu menjadikan sebagian manusia bukan malah lebih bersemangat untuk menambah kebaikan tetapi semakin membuatnya malas untuk beribadah, atau malah merasa heran dan mengingkari adanya karunia dan pahala yang besar ini.
Perlu diketahui, bahwa sebandingnya surat Al-Ikhlas dengan sepertiga Al-Qur’an, mengandung tiga hal: ma’rifat kepada Allah, akhirat dan kepada sirathal mustaqim, ketiga ma’rifat tersebut tergolong sebagai sentral prioritas, sedangkan yang lainnya pendukung.
Telah hadir hadits shahih dari Nabi saw yang menunjukkan bahwa surat al-Ikhlash “Qulhuwallah” setara dengan sepertiga alQur’an.
Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (6643) dari Abu Sa’id ra, bahwa ada seseorang mendengar orang lain membaca “Qulhuwallah” dia mengulang-ulanginya, maka di pagi harinya dia mendatangi Rasulullah saw lalu menceritakannya, seolah-olah orang ini menganggapnya sedikit. Maka Rasul saw bersabda: “Demi Allah yang jiwaku ada ditangan-Nya, sesungguhnya ia menyamai sepertiga al-Qur’an.”
Imam Muslim meriwayatkan (811) dari Abu Darda’ dari Nabi saw beliau bersabda: “Apakah salah seorang kamu tidak mampu membaca sepertiga al-Qur’an dalam satu malam? Mereka bertanya: “Bagaimanakah ia membaca sepertiga al-Qur’an? Beliau bersabda: [قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ] menyamai sepertiga al-Qur’an.”
Sumber:Jawahirul Qur’an/Karya: Imam Ghazali/Penerbit: Risalah Gust