Jumat, 20 Maret 2015

Kashva: Sang Pencari Asvat Ereta Part 2



Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh…
Maaf apabila chapter lanjutannya lama sekali. Tolong dimaklumi karena saya terhalang oleh UAS dan liburan, jadi yaaahhh baru sempat melanjutkan sekarang.
Oh ya!‼ Mengenai pertanyaan yang saya ajukan di chapter pertama, sudah ada pemenang pertama, lho! Penasaran siapa pemenangnya?? Yup, siapa lagi kalau bukan Mas Adi sang ketua Rohis. (Maaf hadiahnya belum sempat saya berikan)
Dengan ini, maka hadiah sederhananya masih tersisa untuk dua orang lagi. Saya masih menunggu pemenang kedua dan ketiga. Bagi yang lupa pertanyaannya, silahkan baca di bawah ini.
Pertanyaan: Coba tebak siapa Kashva?
Ketentuan: Cerita berjudul “Kashva: Sang Pencari Asvat Ereta” ini akan hadir secara bersambung dan diupdate Insya Allah setiap 3 sampai 6 hari sekali. Cerita akan diupload di blog stan2014bdkmalang.blogspot.com Bagi yang berminat, untuk menjawab pertanyaan diatas, silahkan mengirim jawaban dan alasan ke nomor 085736588692. Bagi penjawab pertama, kedua, dan ketiga yang mampu menjawab dengan benar, akan mendapat hadiah sederhana. Cerita ini Insya Allah akan berakhir di Chapter 5.
            Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh
Salmatun Niswa

Sebelumnya:
“Baginda, Bangsa Persia sudah tidak mampu menjaga keutuhan ajaran Zardusht. Kita mulai mencampakkan perjanjian api dengan Tuhan. Bangsa ini menuju ke dalam remah-remah suatu kaum dan kitab suci mulai menjadi remah-remah sebuah agama. Sekarang ini, Baginda, Nun jauh disuatu tempat, seorang pria nan mulia telah menyempurnakan ajaran Zardusht. Bukankah ini waktunya bagi kita untuk menyambut dan mengikutinya?”
                Sang Raja tercekat. Dadanya bergemuruh menahan kemarahan. Berusaha tetap tenang, Sang Raja berucap, “Kashva. Seharusnya sekarang aku memerintahkan algojoku untuk memenggal kepalamu. Membiarkan kepalamu menggelinding dan darahmu mengotori lantaiku.”

Chapter 2 : Awal Pelarian
                Suara Khosrou menggelegar diikuti dengan kesunyian yang mencekam. Rakyat menahan napas, pembesar kerajaan terpaku, sedangkan Kashva hanya diam dan pasrah terhadap apa yang akan menimpanya.
                “Namun aku masih mengasihi usia mudamu, gejolak remajamu, kecermelangan otakmu, dan keindahan sastramu. Karena itulah, kuperintahkan kau kembali ke Kuil Gunung Sistan untuk menghakimi dirimu sendiri. Renungkan kelancanganmu sampai kuampuni nyawamu secara penuh.” Sang Raja berdiri dengan cepat. Tangannya menunjuk Kashva dengan emosi, “Kau pikir di kolong langit ini ada kekuatan yang mampu mengotori tanah Persia? Merendahkan kekuasaan penerus Darius?”
                Kashva hanya bisa diam dan mendengarkan. Dia berusaha agar tidak terlihat gentar mengingat penguasa nomor satu di Persia sedang membentak padanya. Mesipun diam, dia sedang membulatkan tekat. “Aku akan meninggalkan Persia!”, batin Kashva ketika sang Raja berbalik meninggalkannya.

Kuil Gunung Sistan, Persia
                Tanpa membuang waktu, Kashva segera berkemas. Dia memasukkan beberapa keping koin emas dan bergulung-gulung papirus—kertas berupa daun lontar—ke dalam kotak kayu. Dia menjaga gulungan-gulungan itu bagaikan nyawanya sendiri, melebihi perlakuannya terhadap kitab Zardhust. Padahal, gulungan-gulungan itu hanya berisi tulisan-tulisan dari teman-temannya dari berbagai pelosok dunia. Selama tinggal di kuil Gunung Sistan selama kurang lebih sepuluh tahun, Kashva selalu berkirim surat dengan keempat sahabat penanya. Pemikir di India, seorang rahib yang tinggal di biara yang berada di lereng Gunung Anyameqen di Tibet, seorang penjaga sinagog—gereja agama Yahudi—di  Mesir, dan Penjaga perpustakaan biara di Bashrah, Suriah. Selama bertahun-tahun, kelima orang dengan agama yang berbeda ini selalu berkirim surat bertemakan Juru Selamat yang akan muncul berdasarkan versi mereka sendiri-sendiri. Surat-surat itulah harta Kashva yang paling berharga.
                Menurut Kashva, penjaga perpustakaan biara dari Bashrar merupakan temannya yang paling istimewa. El, namanya. Surat-suratnya selalu datang membawa pendapat dan kisah-kisah menarik seputar sang Juru selamat. Kashva tersenyum mengingat surat-sirat dari El. Dia menggulung surat-suratnya dengan hati-hati dan bergumam, “Kita akan segera bertemu, sahabatku. Aku akan ke Suriah. Ya..…menemuimu adalah tujuan yang paling masuk akal dalam pelarian ini.”
                Usai memasukkan gulungan terakhir dari El ke dalam kotak kayu miliknya, Kashva mengedarkan pandangannya pada ruang kerjanya. Ada rasa kepiluan mengingat dia mungkin tidak akan pernah kembali ke tempat itu lagi. Kashva bisa saja memilih untuk tetap tinggal, hidup berkecukupan, dan dihormati andaikan dia tetap bungkam terhadap adanya Juru selamat yang akan menduduki Persia dan membenarkan ajaran Zardhust. Namun, hasratnya terhadap kebenaran mengalahkan semuanya. Dia tahu dan harus menyampaikan.  Dia memilih pergi dari Persia, meninggalkan semuanya daripada bungkam tanpa berbuat apa-apa.
                “Makan malam sudah siap Tuan.”, sebuah suara membawanya kembali ke dunia nyata. Kashva menoleh dan mendapati Yim, kepala rumah tangga di kuil tersebut, sedang melongokkan kepalanya dari balik pintu. Yim awalnya adalah seorang lelaki miskin dari sebuah desa terpencil di Persia. Dia memulai semuanya dari nol hingga diberi kepercayaan oleh sang Raja untuk menjadi pengurus Kuil Gunung Sistan. Kini diusianya yang sudah kepala 8, dia masih bekerja di tempat yang sama dan menjadi orang terdekat Kashva. Kashva sendiri sudah menganggapnya sebagai ayah.
                Kashva mengikuti Yim menuju ruang makan. Tampak banyak sekali hidangan mewah yang nampak rapi diatas meja panjang yang ada di tengah ruangan. Kontras dengan makanannya, kursi-kursi yang mengelilingi meja tersebut justru tampak kosong, tanpa penghuni.
                “Sepi sekali. Mana yang lain, Yim?”, tanya Kashva
                “Mereka semua menghadiri festival musim semi di kota, Tuan.”, jawab Yim santai
                Kashva menatapnya dengan tatapan heran, “Yim, jika semuanya menghadiri festival sedangkan kau ada di sini bersamaku, kau pasti akan dicurigai membantuku melarikan diri. Itu bukan alibi yang bagus, Yim.”
                “Tuan, untuk apa saya melihat festival musim semi? Jika dihitung mulai saya berusia sepuluh tahun, berarti sudah 70 festival yang saya lewati.”
                Kashva mengalah dalam perdebatan tersebut dan memilih duduk di meja makan. Dia tahu bahwa keputusan Yim tidak dapat diubah sedikitpun. Kashva mengambil hidangan yang ada di depannya sambil berpikir. Inilah makan malam terakhirnya di Kuil Gunung Sistan.

Di Pinggir sungai Mughrab
                Kashva merapatkan penutup kepalanya yang terbuat dari kulit, seolah berharap dengan begitu wajahnya bisa tersamarkan. Namun, siapa yang tidak kenal Kasvha yang dijuluki sebagai Pemindai Surga? Kashva sudah berjalan cukup jauh dari gunung Sistan. Inilah jarak terjauh yang pernah dilaluinya dengan jalan kaki. Atas panduan Yim, Kashva diminta untuk menunggu datangnya orang bernama Mashya di sekitar sungai Mughrab, tepatnya di samping Makam Cyrus—penguasa Persia yang pertama. Mashya adalah orang kepercayaan Yim yang akan membantu pelarian Kashva. Kashva sendiri sadar, dia tidak akan selamat dari kejaran tentara Persia jika mengandalkan dirinya sendiri. Tubuhnya jarang dilatih bela diri, pengetahuannya seputar jalan-jalan di Persia terbatas, ditambah kenyataan dia sangat jarang keluar dari Kuil Gunung Sistan sejak sepuluh tahun terakhir. Kashva benar-benar butuh bantuan.
                Sembari menunggu, dia mengamati teks yang tertulis di dinding putih makam Cyrus.
Selamat datang, peziarah. Aku telah menantikanmu, di hadapanmu Cyrus berbaring, Raja Asia, pemimpin dunia. Yang tertinggal dari dirinya hanyalah debu. Janganlah kau iri padaku.
Kashva mendesah. Dia memahami pesan yang tertulis dari teks itu. Dia juga paham bahwa ada semangat milik Cyrus yang tidak diwariskan kepada para penerus Persia setelahnya. Saat dia tengah melamun, terdengar suara gemerisik dari balik pepohonan. Dia segera berdiri dan bersiaga sembari menajamkan pendengarannya. Suara itu semakin dekat. Terdengar jelas suara jejak kaki yang mendekati tempatnya berdiri.
“Tuan Kashva?”, sebuah suara terdengar dari belakangnya.
Kasvha berbalik dan melihat sesuatu yang tidak pernah terlintas dipikirannya. Sesosok raksasa! Paling tidak manusia yang menyerupai raksasa. Berdiri angker dengan kepala plontos. Tingginya sekepala diatas Kashva. Kashva mulai membayangkan orang itu bisa saja meremukkan tulang-tulangnya hanya dengan menautkan kedua lengannya. Lengan yang mengembung seukuran paha lelaki kebanyakan. Mungkin Kashva berlebihan. Mungkin lengannya tidak sebesar paha lelaki kebanyakan, namun tetap saja ukuran tubuhnya tidak bisa disebut normal. Bukan hanya tubuh, wajah raksasa itu juga tidak wajar. Wajahnya menceritakan kepribadian yang pendiam namun sarat dengan rasa marah.  Dahinya seperti selalu berkerut, menahan beban kegusaran. Ekspresi bibirnya datar, tidak menyeringai namun juga tidak tersenyum. Di malam yang gelap saat itupun, wajahnya jelas tampak serius dan…… beringas.
“Engkau Mashya?”, tanya Kashva setelah pulih dari kekagetannya.
Bukannya menjawab, raksasa itu justru berkata, “Tempat ini tidak aman. Kita akan pergi ke Gathas. ”
Kashva terkejut. Untuk apa mereka ke Gathas? Tempat itu berlawanan arah dengan tempat tujuannya—Suriah—ditambah dengan masa lalunya yang menyedihkan di tempat itu sepuluh tahun lalu. Tidak! Dia tidak sudi pergi ke Gathas!
“Mashya, aku tidak mau pergi ke Gathas. Aku ingin pergi ke Suriah.”
“Tuan Kashva, semua orang tahu bahwa tujuanmu pastilah Suriah. Raja pasti sudah mengetatkan jalur-jalur menuju kesana. Sekarang kita harus ke Gathas. Setidaknya disana kita masih aman untuk sementara.”, ucap Masya masih dengan ekspresi dan nada yang datar.
Kali ini, Kashva tidak menjawab. Dia tahu bahwa alasan Mashya bahwa Raja mungkin sudah mengetatkan jalur menuju Suriah memang masuk akal. Tapi dia masih belum mau pergi ke Gathas. Kashva sadar bertengkar dengan Mashya hanya akan membahayakan nyawanya, maka dia lebih memilih untuk menurut. Setidaknya, untuk sementara waktu.
Mashya segera berbalik dan mulai melangkahkan kakinya. Langkah kakinya begitu lebar sehingga Kashva harus berlari untuk menyusulnya.  Hal itu tidak mudah bagi Kashva. Dia baru saja menuruni Gunung Sistan dan bergegas menuju makam Cyrus yang jaraknya berpuluh-puluh kilometer. Semuanya dilakukan dengan jalan kaki. Jadi, masuk akal jika sekarang Kashva berlari sambil ngos-ngosan. Setelah sejajar dengan Mashya, Kashva mendongak dan bertanya, “Mana kudamu , Mashya?”
Mashya berhenti seketika. “Tidak ada kuda. Kita jalan kaki.”, jawabnya masih dengan wajah datar. Kontras sekali dengan wajah Kashva yang berubah terkejut.
“Tidak ada kuda? Bagaimana mungkin kita ke Gathas hanya dengan jalan kaki? Berapa lama kita bisa sampai di Gathas?”
Masya menyipitkan matanya, “Dengan langkah kakimu yang seperti itu,  kita baru bisa sampai setidaknya satu minggu.” Itu adalah ejekan Mashya yang pertama.
“Satu minggu? Jalan kaki? Tidak! Aku tidak mau. Lagipula untuk apa kita ke Gathas? Daripada jalan kaki ke Gathas, lebih baik aku ke Suriah. Dan lagi Masya, kau diminta oleh Yim untuk membantu pelarianku. Berarti yang berkepentingan disini adalah aku. Dan aku adalah majikanmu. Jadi aku yang mengatur, bukan kau Mashya. Sekarang kita akan ke Suriah dan kau yang jadi pemanduku.” Kashva sudah mulai kesal dengan mashya. Dia tidak mau ke Gathas, apalagi jika menempuh waktu satu minggu jalan kaki.
Masya tampak menimbang-nimbang. Tatapannya masih datar namun dia tampak berpikir. Mungkin dia akhirnya akan berubah pikiran dan mengikutinya ke Suriah. Setidaknya, itulah pikiran Kashva sebelum sebuah tinju melayang ke arahnya. Yup, Mashya meninjunya hingga pingsan.

                                    Insya Allah bersambung
sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com

0 komentar:

Posting Komentar