Jumat, 20 Maret 2015

Kashva: Sang Pencari Asvat Ereta Part 3



Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh,
            Kali ini updatenya agak cepat karena saya sudah mengerjakannya selama liburan. Sewaktu menulis chapter ini, saya selalu berusaha menunda-nunda menyelesaikannya karena merasa tidak kuat kalau harus membaca ulang buku tersebut lebih jauh lagi. Ugh, itu karena chapter ini merupakan pembukaan dari segala rasa pedih dan penderitaan yang akan dialami Kashva dalam perjalanannya mencari Asvat Ereta. Alhamdulillah, setelah dua hari begadang, akhirnya saya berhasil menyelesaikan chapter ini.
            Oh, ya! Saya masih menunggu pemenang berikutnya, lho! Pertanyaannya masih sama:
       COBA TEBAK SIAPA KASHVA?
Ketentuan: Cerita berjudul “Kashva: Sang Pencari Asvat Ereta” ini akan hadir secara bersambung dan diupdate Insya Allah setiap 3 sampai 6 hari sekali. Cerita akan diupload di blog stan2014bdkmalang.blogspot.com. Bagi yang berminat, untuk menjawab pertanyaan diatas, silahkan mengirim jawaban dan alasan ke nomor 085736588692. Bagi penjawab pertama, kedua, dan ketiga yang mampu menjawab dengan benar, akan mendapat hadiah sederhana. Cerita ini Insya Allah akan berakhir di Chapter 5.
            Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh
Salmatun Niswa




Sebelumnya:
Masya tampak menimbang-nimbang. Tatapannya masih datar namun dia tampak berpikir. Mungkin dia akhirnya akan berubah pikiran dan mengikutinya ke Suriah. Setidaknya, itulah pikiran Kashva sebelum sebuah tinju melayang ke arahnya. Yup, Mashya meninjunya hingga pingsan.
Chapter 3: Astu
            Kashva bangun di tempat yang asing baginya. Dia memegangi rahangnya yang masih berdenyut-denyut. Bengkak, namun tidak menggembung dan masih terasa sakit. “Mashya…..lancang.”, gumamnya setelah mengingat apa yang dia alami sebelumnya. Kashva segera bangkit dan melihat sekelilingnya. Kotak kayunya tergeletak disampingnya. Punggungnya bersandar pada sebuah batang pohon berdaun lebat. Hari sudah malam dan nampak nyala beberapa api unggun tak jauh dari tempatnya berada. Aku berada di perkampungan penduduk.
            Api unggun itu berjumlah tujuh buah dan masing-masing dikelilingi oleh beberapa orang sehingga tampak ramai. “Tujuh api unggun.”, batin Kashva. Dia segera ingat kepercayaan masyarakat Persia. Tujuh adalah bilangan ganjil pembawa keberuntungan. Kashva sendiri justru tidak terlalu percaya dengan mitos seperti itu. Seorang laki-laki berdiri di depan api unggun pertama dan mulai berkomat-kamit. “Sorkhi ye to az man o zardiye man be to. Berikanlah binar merah kesehatanmu padaku dan ambillah rona pucat kesakitanku., bisik Kashva. Dia yakin, pasti laki-laki itu menggumamkan doa yang sama.
            “Kau!”, seru Kashva.
            Kemarahan seketika muncul dari dada Kashva. Raksasa itu—Mashya—tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya. Meski gelap menyembunyikan detail wajahnya, Kashva yakin dia tidak akan keliru. “Kau pikir siapa dirimu?”
            Mashya tidak menjawab. Dia justru menyodorkan sebuah pir kepada Kashva.
            “Harusnya aku membalas perbuatanmu. Kau beruntung aku tidak menyukai kekerasan.”, ucap Kashva. Dia meraih pir tak bertuan yang disodorkan oleh Mashya. Ekspresi Mashya masih sedingin es, namun Kashva bisa meihat ketulusan dari matanya, meski sedikit. 
            “Kau menggendongku sejauh ini?”, tanya Kasvha sambil mengunyah pirnya perlahan. Mashya duduk disebelahnya, masih diam. Tatapan matanya menerawang entah kemana. Meski tak yakin berapa lama dia pingsan, Kashva yakin itu cukup lama. Selama itu pula, Mashya menggendongnya di punggung atau di bahunya. Sebuah pekerjaan yang patut dihargai.
            “Berbicaralah sedikit.”, kata Kashva. “Itu tidak akan mengurangi keangkeranmu.”
            Dia kembali menoleh ke arah Mashya, “Kau tidak makan?”
            “Sebuah keluarga mengundang kita untuk makan malam. Kita kesana sekarang.”, jawab Mashya sambil berdiri.
            “Diundang? Kau punya kenalan disini?”
            Mashya menggeleng.
            “Kalu begitu aku tidak mau ikut. Jangan-jangan mereka terpaksa karena takut denganmu.”
            Mashya membelalakkan matanya. Mulutnya terbuka dan bergerak-gerak, namun tidak mengeluarkan suara apapun.
            “Kalau kita memang  harus makan dirumah mereka, setidaknya berikan uang ini untuk mereka.”, Kashva mengeluarkan beberapa koin dari kantongnya dan menyerahkannya pada Mashya. Masyha sendiri tampak enggan dan tidak mau mengambilnya.
            “Kalau kau tidak mau memberikan uang ini untuk keluarga itu, sampai matipun aku tidak mau pergi kesana dan kau tidak akan bisa memaksaku.”, suara Kashva menegar. Tangannya yang memegang koin masih menjulur ke arah Mashya.
            Mashya masih tidak mengeluarkan suaranya. Dia hanya meraih koin itu lalu berbalik dan mulai berjalan. Kashva mengikutinya dari belakang tanpa berniat menyamakan langkahnya. Rumah yang mereka datangi tersusun dari bata merah dengan halaman yang ramai dengan pohon ceri. Agak beda dengan rumah Persia normal yang pada umumnya terbuat dari beton putih. Tuan rumahnya adalah seorang lelaki keriput yang tampak ramah. Sebelum memasuki rumah itu, Kashva mengamati ekspresi lelaki tua itu. Mata cekungnya, ekspresi wajahnya, bahasa tubuhnya. Kashva yakin dia bisa menyadari jikalau ada pemaksaan dibalik sikap sang tuan rumah. Sementara waktu, dia percaya semua baik-baik saja.
Dua Hari kemudian
            Kashva sudah hampir menyerah mencoba berbicara dengan Mashya. Raksasa itu selalu menjawab seperlunya jika Kashva mengajaknya bicara. Itu jika beruntung. Tak jarang Mashya menanggapi ucapan Kashva dengan diam.
            “Aku mau istirahat dulu.”, Kashva menghentikan langkahnya di pinggir aliran sungai. Desa Gathas sudah ada di depan mata, hanya tinggal berjalan beberapa puluh meter lagi.
            “Kita beristirahat disana.”, Mashya menunjuk perkampungan.
            “Kau kesanalah dulu. Aku ingin sendiri. Nanti aku menyusul.”, Kashva duduk dan menyandarkan punggunggnya di batang pohon. Kotak kayunya dia geletakkan tepat disampingnya. Terasa beban berat dipunggungnya sudah hilang, berganti dengan beban berat yang terasa di dadanya.
            Mashya masih tidak mengeluarkan suara, hanya mulutnya yang bergerak-gerak seperti sedang mengunyah. Mungkin dia sedang mengunyah kekesalannya, Kashva tidak peduli. Mashya berbalik dan berjalan pergi. Dia sebenarnya tidak sepenuhnya meninggalkan kashva sendirian, Mashya hanya menghilang di balik pepohonan untuk mencari tempat yang nyaman selama menunggui Kashva.
            Beban  berat yang ada di dadanya sudah ada sejak Mashya memutuskan mereka akan ke Gathas. Hanya saja, beban itu terasa bertambah-tambah seiring dengan semakin dekatnya mereka di Gathas. Kashva menghela napas panjang dan mengeluarkannya perlahan, seakan berharap dengan itu bisa menghilangkan beban berat di dadanya. Pikirannya mulai menerawang. Gemerisik suara air sungai membantunya mengingat kejadian sepuluh tahun lalu secara jelas. Terasa seperti kemarin.
Flashback: Sepuluh tahun lalu
            “Aku kelelahan.”, suara gadis itu membuat Kashva tersenyum.
            “Apakah kau lelah bicara denganku?”
            “Ya, aku lelah bicara denganmu.” Wanita bernama Astu itu menjawab sambil tersenyum, membuat perkataannya tidak cocok dengan ekspresi wajahnya.
            Wajah manis itu membuat Kashva tersenyum. Bukan senyum yang bisa mengobati perasaannya sekarang ini, namun senyum yang bisa menghilangkan sejenak rasa sakit yang dirasakannya sekarang. Gadis bernama Astu itu sibuk berbicara mengenai mengenai ajaran Zardhust dan juru selamat sedangkan pikiran Kashva sedang sibuk mengembara. Kashva jauh-jauh datang dari kuil Gunung Sistan untuk bertemu dengan Astu, putri Yim yang kedua. Kashva mendesah, dia tidak mengharapkan sesuatu yang muluk-muluk. Dia akan datang untuk Astu demi alasan apapun asalkan jangan ini, asalkan bukan karena Astu akan menikah dengan anak kepala desa Gathas.
            Hanya dengan mengingat alasan Kashva ada di Gathas sudah cukup membuat dadanya berdenyut, mungkin mati rasa lebih baik. Pernikahan Astu dan anak kepala desa Gathas merupakan perjodohan yang dilakukan oleh kedua orang tua mereka. Anak kepala desa itu tampak tidak keberatan, entah bagaimana dengan Astu. Lagipula, meskipun Astu keberatan ataupun tidak, hal itu tetap tidak akan mempengaruhi pernikahannya jika mengingat derajat wanita di Persia. Jadi, inilah mereka. Duduk berdua di pinggir desa Gathas, mungkin untuk terakhir kalinya.
Flashback End
            Kashva menghentikan kenangan-kenangan yang berjumpalitan dalam pikirannya. Dia tahu dia harus segera menyusul Kashva atau Mashya akan menjemputnya. Dia tidak pernah keberatan dijemput seseorang, asalkan bukan raksasa yang tidak segan-segan menggunakan tinjunya. Kashva bangkit dan mulai berjalan menuju desa. Mashya diam-diam ikut bangkit dan mulai berjalan dibelakangnya.
            “Paman.”
            Kashva tersentak, matanya memandang sosok kecil di samping kakinya. Senyumnya menggemaskan, pipinya tembam, lensa matanya coklat dan bulat sempurna. Bocah yang barangkali turun dari surga. Umurnya empat atau lima tahun. Berdiri dengan tangan menyatu di belakang, menyembunyikan sesuatu, dan tubuh mengayun ke kiri-kanan.
            “Siapa namamu, sayang?”
            “Paman, kunyah ini.”
            Bukan jawaban, namun permintaan. Tangan mungil gemuknya menyodorkan sebentuk bunga kering berwarna gelap.
            “Apa ini?”
            “Paman, kunyah ini.”
            Ekspresi Kashva berusaha mengimbangi gaya si bocah. Dia tersenyum dan kedua alisnya terangkat. Seolah-olah ingin mengatakan, “Aku tahu kau merencanakan sesuatu yang kekanak-kanakan. Sesuatu yang akan membuatku tampak konyol sedangkan kau tertawa terbahak-bahak.” Kashva menjumput bunga itu.
            Si bocah berkata, “Paman, letakkan bunga itu di bawah lidah.”
            Kashva menuruti keinginan teman kecilnya. Seketika matanya membelalak. Ada yang meledak di mulutnya. Rasanya seperti mengunyah bara api. Kulit wajahnya memerah seketika. Lidahnya kehilangan kemampuan mengecapnya. Kashva mendengar bocah itu tertawa penuh kemenangan sementara dia merasakan paru-parunya seperti dijejali dorongan  yang berat tetapi menjadikannya lapang.
            “Apa yang kau berikan pada Paman, Berandal Kecil?” Kashva menggendongnya dan mulai menciumi pipi gembilnya. Bocah itu masih tertawa terbahak-bahak sementara suara tawanya menjadi petunjuk arah bagi seseorang yang sedari tadi memang mencarinya.
            “Xerxes, kenakalan apalagi yang kau lakukan?”
            Suara perempuan. Terdengar tenang dan penuh perhatian. Seorang wanita mengenakan topi petani menghampiri mereka. Perempuan itu membawa dua keranjang yang berisi kurma dan plum di kedua tangannya. Kashva menganggukkan kepalanya, sementara bocah itu meletakkan kepalanya pada bahu Kashva—pura-pura tidur.
            “Maaf atas kelancangan anak saya. Dia merasa melakukan penemuan besar dengan bunga cengkihnya. Mengerjai orang-orang dengan rasa pedasnya.” Si ibu menunjukkan rasa bersalah dari gerak tubuhnya yang gelisah.
            “Cengkih?” Kashva baru pertama kali mendengar dan merasakan efek bunga kering itu.
            Perempuan itu mengangguk. Ada yang berubah dari gerak-geriknya. Dia seperti sedang melakukan konfirmasi dengan pandangannya sedangkan mulutnya terus berbicara. “Cengkih, ratunya rempah-rempah. Datang dari ujung dunia. Hanya tumbuh di sekumpulan pulau yang mengambang ditengah samudera: Alifuru” Jeda sejenak. “Saya benar-benar minta maaf.”
            “Dia sangat menyenangkan, Nyonya. Tidak merepotkan sama sekali.”
            Perempuan itu meletakkan kedua keranjangnya lalu membuka topinya. “Kau sudah datang rupanya, Kashva.”
            Kashva merasakan perasaan yang tak dikenalnya muncul. Bibirnya terasa beku, Jantungnya terasa dirajam. Kakinya terasa mengambang. Dia mengenali wajah wanita itu meski penuh ragu. “Astu? Kaukah itu?”

Insyaa Allah bersambung

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com

0 komentar:

Posting Komentar