Kamis, 15 Januari 2015

Tax Avoidance



By: Muhammad Rizky Hilmy Pajak C
Salah satu definisi Penghindaran Pajak (tax avoidance) adalah “arrangement of a transaction in order to obtain a tax advantage, benefit, or reduction in a manner unintended by the tax law” (Brown, 2012). Untuk memperjelas, penghindaran pajak umumnya dapat dibedakan dari penggelapan pajak (tax evasion), di mana penggelapan pajak terkait dengan penggunaan cara-cara yang melanggar hukum untuk mengurangi atau menghilangkan beban pajak sedangkan penghindaran pajak dilakukan secara “legal” dengan memanfaatkan celah (loopholes) yang terdapat dalam peraturan perpajakan yang ada untuk menghindari pembayaran pajak, atau melakukan transaksi yang tidak memiliki tujuan selain untuk menghindari pajak.
Penghindaran pajak sering dikaitkan dengan perencanaan pajak (tax planning), di mana keduanya sama-sama menggunakan cara yang legal untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan kewajiban pajak. Akan tetapi, perencanaan pajak tidak diperdebatkan mengenai keabsahannya, sedangkan penghindaran pajak merupakan sesuatu yang secara umum dianggap sebagai tindakan yang tidak dapat diterima.
Batas antara penghindaran pajak dengan perencanaan pajak sering kali tidak jelas. Diskusi terkait sejauh mana batas yang diperkenankan untuk membedakan praktik perencanaan pajak yang dapat diterima dengan penghindaran pajak yang tidak dapat diterima merupakan subjek debat yang berkepanjangan dan sering diselesaikan melalui proses sampai ke tingkat pengadilan tertinggi. Artikel ini akan berusaha mengelaborasi pendekatan yang lazim digunakan untuk menentukan batas-batas tersebut, serta praktik yang digunakan untuk mencegah dan melawan praktik penghindaran pajak.
The Westminster Principle
Berbicara mengenai penghindaran pajak tidak dapat dilepaskan dari suatu pandangan  bahwa karena tidak ada hukum yang dilanggar, penghindaran pajak seharusnya tidak dilarang. Setiap orang memiliki kebebasan untuk mengatur urusannya masing-masing sebagaimana dia kehendaki, dan selama tidak ada peraturan yang dilanggar maka otoritas pajak tidak dapat melakukan intervensi.
Pendapat tersebut di atas pertama kali disuarakan dalam putusan pengadilan tertinggi di Inggris dalam kasus yang sangat terkenal yang disebut The Duke of Westminster Case (IRC v Duke of Westminster, 1936). Kasus tersebut terkait dengan suatu kesepakatan antara The Duke of Westminster dengan tukang kebunnya untuk merubah pembayaran gaji tukang kebunnya tersebut menjadi pembayaran anuitas sebagai balas atas jasa-jasa yang telah dilakukan tukang kebunnya di masa lalu. Dalam peraturan perpajakan Inggris pada saat itu, pembayaran anuitas tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajaknya Duke of Westminster, sedangkan pembayaran gaji merupakan biaya yang tidak dapat dikurangkan.
Komisaris pajak melakukan koreksi atas pembayaran tersebut, dengan menyatakan bahwa pembayaran anuitas tersebut secara substansi merupakan pembayaran gaji, sehingga tidak dapat dikurangkan sebagai biaya. Kasus tersebut berakhir di di pengadilan, di mana hakim menolak koreksi yang dilakukan oleh komisaris pajak tersebut dengan mengatakan:
Every man is entitled, if he can, to order his affairs so that the tax attaching under the appropriate Acts is less than it otherwise would be. If he succeeds in ordering them so as to secure this result, then, however unappreciative the Commissioners of Inland Revenue or his fellow taxpayers may be of his ingenuity, he cannot be compelled to pay an increased tax. (IRC v Duke of Westminster, 1936)
Prinsip dalam kasus The Duke of Westminster tersebut masih bergaung sampai dengan saat ini dan sering kali dikutip dalam beberapa putusan pengadilan yang menyangkut penghindaran pajak, termasuk di Indonesia di mana -walaupun tanpa sumber referensi-, prinsip tersebut dikutip dalam Putusan Pengadilan Pajak nomor PUT. 29050/PP/M.III/13/2011, di mana hakim berpendapat: “...Wajib Pajak pada dasarnya bebas untuk mengatur bagaimana mereka bertransaksi untuk menekan beban pajaknya sepanjang tidak melanggar undang-undang perpajakan...”
Prinsip dalam kasus The Duke of Westminster ini di negara asalnya pada akhirnya telah dibantah melalui kasus Ramsay (W. T. Ramsay v. IRC, 1982) di tahun 1982. Akan tetapi, secara umum doktrin Westminster masih sering dikutip untuk menekankan bahwa penghindaran pajak tidak dapat ditolak semata-mata karena penilaian subjektif dari Otoritas Pajak.
Melawan Penghindaran Pajak
Walaupun secara literal tidak ada hukum yang dilanggar, semua pihak sepakat bahwa penghindaran pajak merupakan sesuatu yang secara praktik tidak dapat diterima. Hal ini dikarenakan penghindaran pajak secara langsung berdampak pada tergerusnya basis pajak, yang mengakibatkan berkurangnya penerimaan pajak yang dibutuhkan oleh negara.
Dari sudut pandang kebijakan pajak, pembiaran terhadap praktik penghindaran pajak dapat mengakibatkan ketidakadilan dan berkurangnya efisiensi dari suatu sistem perpajakan. Penghindaran pajak umumnya dilakukan melalui skema-skema transaksi yang kompleks yang dirancang secara sistematis dan umumnya hanya dapat dilakukan oleh korporasi besar. Hal inilah yang menimbulkan persepsi ketidakadilan, di mana korporasi besar tampaknya membayar pajak yang lebih sedikit. Hal ini pada ujungnya dapat menimbulkan keengganan Wajib Pajak yang lain untuk membayar pajak yang berakibat pada inefektifitas sistem perpajakan.
Secara umum dikenal dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk memerangi praktik penghindaran pajak (Arnold, 2008). Yang pertama dengan pendekatan tanpa menggunakan ketentuan khusus dalam peraturan melalui judicial general anti avoidance doctrine (judicial doctrine) yang dikembangkan terutama oleh putusan pengadilan, yang kedua melalui statutory general anti avoidance rule (GAAR) yaitu  ketentuan khusus dalam peraturan yang memberikan kewenangan kepada otoritas pajak untuk membatalkan manfaat dari transaksi yang memenuhi kriteria sebagai penghindaran pajak.
Dalam menafsirkan peraturan terutama sehubungan dengan penghindaran pajak, dikenal dua pendekatan yang berlawanan; pertama pendekatan literal, di mana peraturan ditafsirkan berdasarkan apa yang secara eksplisit tercantum dalam naskah peraturan. Kedua, berseberangan dengan pendekatan pertama adalah pendekatanpurposive, di mana dalam menafsirkan peraturan juga dipertimbangkan tujuan dan latar belakang dari dibuatnya peraturan tersebut.
Judicial doctrine dalam melawan penghindaran pajak dikembangkan terutama oleh negara-negara yang peradilannya berani menggunakan pendekatan purposive dalam menafsirkan peraturan, karena sifat dari penghindaran pajak sebagaimana telah dijelaskan secara literal tidak bertentangan dengan teks yang tercantum dalam peraturan perpajakan, sehingga diperlukan penafsiran alternatif yang menyimpang dari teks peraturan.
Di negara-negara yang peradilannya masih cenderung menggunakan penafsiran literal, dapat dikatakan bahwa penggunaan judicial doctrine untuk melawan penghindaran pajak tidak banyak berkembang. Hal ini sering kali mendorong negara-negara untuk mencantumkan dalam peraturan perpajakannya ketentuan khusus dalam bentukstatutory general anti avoidance rule.
Judicial General Anti Avoidance Doctrine
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, judicial doctrine dikembangkan terutama dari putusan-putusan pengadilan terkait dengan penghindaran pajak. Berbagai yurisdiksi banyak mengembangkan judicial doctrinemasing-masing, dan pada paragraf berikut akan dijelaskan beberapa judicial doctrine yang paling umum digunakan.
Economic Substance Doctrine
Inti dari economic substance doctrine adalah bahwa suatu skema transaksi yang memiliki dampak berkurangnya beban pajak hanya dapat diakui apabila transaksi tersebut memiliki substansi ekonomi, dan mengandung pertimbangan selain pajak serta tidak semata-mata dilakukan untuk penghindaran pajak. (Arnold, 2008)
Economic substance doctrine berasal dari sebuah kasus penghindaran pajak di Amerika Serikat, dimana Mr. Gregory, pemilik tunggal sebuah perusahaan yang memiliki surat berharga pada perusahaan lainnya. Mr Gregory kemudian membuat sebuah perusahaan baru dengan tujuan untuk mengkonversi penghasilan berupa ordinary income dari surat berharga tersebut yang dikenakan pajak menjadi capital gain yang berdasarkan peraturan pada saat itu tidak dikenakan pajak. (Gregory v. Helvering, 1935)
Dihadapkan pada skema tersebut, hakim yang menghakimi perkara tersebut mengeluarkan pendapat sebagai berikut:
Putting aside, then, the question of motive in respect of taxation altogether, and fixing the character of the proceeding by what actually occurred, what do we find? Simply an operation having no business or corporate purpose — a mere device which put on the form of a corporate reorganization as a disguise for concealing its real character ... (Gregory v. Helvering, 1935)
Doktrin ini kemudian dikutip dan dikembangkan lebih lanjut dalam putusan-putusan terkait dengan kasus penghindaran pajak di Amerika Serikat, dan saat ini economic substance doctrine telah berkembang menjadi dengan apa yang dikenal sebagai two prong test, yaitu objective economic substance dan subjective business purpose. Tes tersebut menjelaskan bahwa sebuah skema penghindaran pajak dapat dibatalkan apabila (i) Wajib Pajak melakukan transaksi yang tidak memiliki tujuan bisnis selain untuk mengurangi pajak (ii) transaksi tersebut tidak memiliki substansi ekonomis karena tidak ditemukan adanya kemungkinan keuntungan selain pajak. (Frank Lyon v. United States, 1978).
Step Transaction Doctrine
Step transaction doctrine juga diperkenalkan di Amerika Serikat, diantaranya digunakan dalam kasus Minnesota Tea Co. V. Helvering (Minnesota Tea Co. v Helvering, 1938). Dalam kasus tersebut, untuk membayar hutang perusahaan, Minnesota Tea Co. Melakukan reorganisasi perusahaan dengan menukar asetnya dan menerima saham dan sejumlah uang dari perusahaan lain. Uang tersebut dibagikan kepada pemegang sahamnya dalam bentuk distribusi laba, kemudian pemegang saham tersebut menyerahkan uang yang mereka terima kepada debitur dari Minnesota Tea Co. Akibat dari transaksi tersebut, karena berbentuk distribusi kepada pemegang saham maka tidak dikenakan pajak, walaupun secara substansi uang tersebut akhirnya diserahkan kepada pemegang saham tersebut kepada debitur perusahaan.
Dalam sidang banding, Hakim memutuskan untuk tidak menerima transaksi tersebut, dan membatalkan skema penghindaran pajak yang dilakukan. Kutipan dari pendapat hakim dalam putusannya sebagai berikut: “A given result at the end of a straight path is not made a different result because reached by following a devious path” (Minnesota Tea Co. v Helvering, 1938). Hakim pada intinya memutuskan bahwa karena ujung dari rangkaian transaksi tersebut adalah pelunasan hutang, maka secara perpajakan akan diperlakukan sebagai pembayaran utang yang dikenakan pajak.
Substance over Form Doctrine
Prinsip substance over form pada dasarnya menjelaskan bahwa hak dan kewajiban yang timbul secara formal sebagai akibat dari transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak akan tetap diakui, akan tetapi karakterisasi dari transaksi yang dilakukan untuk tujuan pajak akan ditentukan berdasarkan bagaimana secara substansi peraturan perpajakan mengkarakterisasikan hasil dari transaksi tersebut (Arnold, 2008), sehingga berdasarkan prinsip ini, fakta dan konsekuensi perpajakan dari sebuah transaksi ditentukan berdasarkan substansi komersial yang timbul, dan tidak semata-mata dilihat dari bentuk formalnya. (Lampreave, 2012)
Doktrin substance over form merupakan salah satu doktrin yang paling dikenal di Indonesia, akan tetapi aplikasinya dalam praktik belum terlalu umum digunakan kecuali sebagai tambahan penguat argumen untuk dasar koreksi dalam pemeriksaan, seperti dalam penentuan beneficial owner, dividen terselubung dan lain sebagainya.
Statutory General Anti Avoidance Rule
Selain melalui pendekatan judicial doctrine, beberapa negara memilih pendekatan berbeda untuk mencegah penghindaran pajak, yaitu dengan membuat suatu statutory general anti avoidance rule berupa ketentuan khusus yang dicantumkan dalam peraturan perpajakannya yang bertujuan untuk melawan penghindaran pajak.
Walaupun dalam perumusannya menggunakan pendekatan yang berbeda-beda, secara umum terdapat dua fitur utama yang tersirat dalam berbagai statutory GAAR yang diadopsi oleh berbagai negara, fitur tersebut yaitu (1) tujuan dari transaksi atau rangkaian transaksi yang terkait, (2) Apakah outcome dari transaksi tersebut selaras dengan apa yang menjadi tujuan dari peraturan perpajakan terkait. (Arnold, 2008)
Untuk memberikan gambaran penggunaan statutory general anti avoidance rule untuk melawan penghindaran pajak, berikut diuraikan praktik yang dilakukan oleh negara Australia dan Kanada dalam merancang sebuah statutory general anti avoidance rule.
Australia
Australia telah memiliki statutory general anti avoidance rule sejak tahun 1915, kemudian mengalami amandemen pertama di tahun 1936 dalam section 260 Income Tax Assessment Act 1936 dan kemudian di tahun 1981 menjadi Part IVA.
Dalam part IVA tersebut, diatur bahwa otoritas pajak berwenang untuk membatalkan tax benefit yang dihasilkan dari sebuah skema apabila dapat disimpulkan bahwa tujuan utama dari salah satu atau lebih pihak yang terkait dengan skema tersebut adalah untuk mendapatkan tax benefit dimaksud (Brown, 2012).
Inti pengaturan dari statutory general anti avoidance rule di Australia dapat dilihat di section 177D dalam Part IVA, di mana diatur:
This part applies to any scheme ... where:
(a) a taxpayer ... has obtained or would ... obtain a tax benefit ... and
(b) ... it would be concluded that the person, or one of the persons, who entered into or carried out the scheme or any part of the scheme did so for the purpose of enabling the relevant taxpayer to obtain a tax benefit in connection with the scheme ...
Penerapan statutory general anti avoidance rule di Australia mencakup identifikasi suatu skema, penentuan adanyatax benefit, dan apakah dari fakta-fakta yang berkaitan dengan skema tersebut, dapat secara objektif disimpulkan bahwa tujuan dari pihak atau salah satu pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut adalah untuk mendapatkan tax benefit dimaksud.
Dari drafting Part IVA, pendekatan yang digunakan oleh Otoritas Pajak Australia adalah menggunakan pendekatanpurpose atau tujuan, dalam hal ini yang dimaksud adalah predominant purpose atau main purpose yang ditentukan secara objektif dari para pihak atau salah satu pihak yang terlibat dalam skema penghindaran pajak dimaksud (Pagone, 2010).
Penggunaan main purpose test di Part IVA tersebut berdampak bahwa walaupun suatu skema penghindaran pajak masih memiliki tujuan komersial, akan tetapi apabila tujuan utamanya adalah penghindaran pajak tersebut skema tersebut tetap dapat dibatalkan menggunakan statutory general anti avoidance rule di Australia.
Kanada
Kanada memiliki statutory general anti avoidance rule dalam section 245 Undang-undang Pajaknya sejak tahun 1988, yang memberikan diskresi kepada otoritas pajak untuk menentukan kembali untuk kepentingan perpajakan dampak dari suatu skema tax avoidance atau aggresive tax planning.
Transaksi avoidance dalam ketentuan perpajakan Kanada didefinisikan sebagai: “a transaction or series of transactions that would result, directly or indirectly, in a tax benefit, unless the transaction may reasonably be considered to have been undertaken or arranged primarily for bona fide purposes other than to obtain the tax benefit.” (Brown, 2012)
Dalam menentukan apakah suatu transaksi atau rangkaian transaksi dapat dikenakan ketentuan dalam statutory general anti avoidance rule, terdapat tiga pertanyaan atau tahapan yang harus dijawab, (1) apakah terdapat tax benefit? (2) apakah transaksi yang menimbulkan tax benefit tersebut memenuhi syarat sebagai transaksiavoidance? (3) apakah transaksi avoidance yang menimbulkan tax benefit tersebut abusive? (Canada Trustco Mortgage Co. v. Canada, 2005)
Jadi, berdasarkan ketentuan statutory general anti avoidance rule di Kanada, sebuah transaksi tax avoidance hanya dapat dibatalkan apabila transaksi tersebut abusive. Sebuah transaksi avoidance dikatakan abusive apabila dampak substansi ekonomis yang ditimbulkan dari transaksi tersebut walaupun selaras dengan teks peraturan, akan tetapi tidak selaras dengan apa yang menjadi maksud, semangat atau tujuan dari peraturan tersebut (Copthorne Holdings Ltd. v. Canada, 2011).
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa berbeda dari Australia yang menggunakan pendekatan tujuan dari pihak yang bertransaksi, Kanada menggunakan pendekatan dengan melihat maksud dan tujuan dari suatu peraturan dalam melawan penghindaran pajak. Dalam hal ini tujuan atau motif dari pihak atau para pihak yang melakukan transaksi avoidance tidak relevan dalam penerapan statutory general anti avoidance rule di Kanada.
Kesimpulan
Penghindaran pajak merupakan suatu praktik yang secara umum disepakati sebagai suatu tindakan yang tidak dapat diterima dan harus dicegah serta dilawan. Akan tetapi, kenyataan bahwa penghindaran pajak dilakukan dengan memanfaatkan celah dalam peraturan perpajakan sehingga secara literal tidak melanggar hukum membuat isu tersebut menjadi isu diskusi yang tak kunjung usai.
Dalam melawan penghindaran pajak, saat ini dikenal dua pendekatan utama, pertama melalui judicial general anti avoidance  doctrine yang dikembangkan oleh pengadilan, kedua melalui sebuah statutory general anti avoidance rule yang dicantumkan dalam peraturan perpajakan.
Belajar dari praktik di negara lain, dalam kasus Indonesia kedua pendekatan tersebut dapat dipertimbangkan, akan tetapi pendekatan pertama melalui judicial doctrine secara budaya hukum di Indonesia bisa jadi lebih sulit diterapkan karena penafsiran perundangan di Indonesia masih cenderung literal, sebagaimana telah ditunjukkan dalam beberapa putusan pengadilan pajak yang dalam dasar koreksi pemeriksaan menggunakan doktrinsubstance over form.
Mempertimbangkan budaya penafsiran peraturan yang literal tersebut, untuk melawan penghindaran pajak diperlukan sebuah dasar hukum yang secara eksplisit tertulis dalam Undang-undang Perpajakan. Akan tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan bagi otoritas pajak Indonesia untuk mencoba menggunakan judicial doctrine yang sudah dikenal di negara lain sebagai test case dalam rangka mendorong pengadilan pajak untuk menerapkan doktrin-doktrin tersebut dalam menghadapi penghindaran pajak.
Saat ini, untuk meminimalisir praktik penghindaran pajak di Undang-undang perpajakan sudah dikenal peraturanspecific anti avoidance rule dalam Pasal 18 Undang-undang Pajak Penghasilan, akan tetapi seiring semakin kompleksnya skema-skema penghindaran pajak yang digunakan, ketentuan dalam Pasal 18 tersebut tentu tidak mungkin dapat mencakup seluruh jenis transaksi penghindaran pajak. Oleh karena itu, mencegah dan melawan praktik penghindaran pajak, pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan untuk menyusun dan memperkenalkan suatu statutory general anti avoidance rule di Undang-undang perpajakan di Indonesia, dengan mengambil pelajaran dari negara lain yang telah menerapkan ketentuan tersebut dalam peraturan mereka.
Perlu diingat bahwa dalam menyusun sebuah statutory general anti avoidance rule perlu dipertimbangkan keseimbangan antara penegakan hukum dengan kepastian hukum bagi Wajib Pajak. Jetentuan statutory general anti avoidance rule memberikan diskresi yang sangat luas bagi otoritas perpajakan untuk melakukan penelitian yang mendalam atas sebuah skema transaksi dan melakukan koreksi apabila skema tersebut disimpulkan sebagai sebuah transaksi penghindaran pajak.
Diskresi luas yang diberikan oleh suatu general anti voidance rule juga rawan untuk disalahgunakan oleh otoritas pajak untuk melakukan koreksi yang kurang tepat, sehingga sering kali usaha untuk memperkenalan sebuahstatutory general anti avoidance rule menghadapi perlawanan dari dunia usaha. Hal ini ditunjukkan oleh pengalaman di India, di mana penerapan statutory general anti avoidance rule yang diperkenalkan tahun 2012 di negara tersebut terpaksa ditunda pelaksanaannya sampai tahun 2016 karena penolakan dari dunia usaha.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja
**) Penulis adalah Alumni D4 STAN dan S2 dari the University of Melbourne Australia

Bibliography
Gregory v. Helvering, 293 U.S. 465 (1935) 468-470 (Supreme Court (US) 1935).
IRC v Duke of Westminster, AC 1 (HL) (House of Lords (UK) 1936).
Minnesota Tea Co. v Helvering, (1938) 302 US 609 (USSC) (Supreme Court (US) 1938).
Frank Lyon v. United States, 435 U.S. 561, 583-84 (1978) (Supreme Court (US) 1978).
W. T. Ramsay v. IRC, [1982] 1 A.C. 300 (High Court (UK) 1982).
Canada Trustco Mortgage Co. v. Canada, [2005] 2 S.C.R. 601 (Supreme Court (Canada) 2005).
Copthorne Holdings Ltd. v. Canada, 2011 SCC 63 (Suprem Court (Canada) 2011).
Arnold, B. (2008). A Comparison of Statutory General Anti-Avoidance Rules and Judicial General Anti-Avoidance Doctrines as a Means of Controlling Tax Avoidance: Which is Better? Dalam P. H. John Avery Jones, Comparative Perspectives on Revenue Law (hal. 1). Cambridge: Cambridge University Press.
Brown, K. B. (2012). A Comparative Look at Regulation of Corporate Tax Avoidance. New York: Springer.
Lampreave, D. P. (2012). An Assessment of the Anti-Tax Avoidance Doctrines in the United States and the European Union. BULLETIN FOR INTERNATIONAL TAXATION, 153-169.
Pagone, G. (2010). Tax Avoudance in Australia. Sydney: The Federation Press.

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com

0 komentar:

Posting Komentar