Assalamu’alaikum
warohmatullahi wabarokatuh,
Kali ini updatenya agak cepat karena saya sudah
mengerjakannya selama liburan. Sewaktu menulis chapter ini, saya selalu
berusaha menunda-nunda menyelesaikannya karena merasa tidak kuat kalau harus
membaca ulang buku tersebut lebih jauh lagi. Ugh, itu karena chapter ini
merupakan pembukaan dari segala rasa pedih dan penderitaan yang akan dialami
Kashva dalam perjalanannya mencari Asvat Ereta. Alhamdulillah, setelah dua hari
begadang, akhirnya saya berhasil menyelesaikan chapter ini.
Oh, ya!
Saya masih menunggu pemenang berikutnya, lho! Pertanyaannya masih sama:
COBA
TEBAK SIAPA KASHVA?
Ketentuan:
Cerita berjudul “Kashva: Sang Pencari Asvat Ereta” ini akan hadir secara
bersambung dan diupdate Insya Allah setiap 3 sampai 6 hari sekali. Cerita akan
diupload di blog stan2014bdkmalang.blogspot.com.
Bagi yang berminat, untuk menjawab pertanyaan diatas, silahkan mengirim jawaban
dan alasan ke nomor 085736588692.
Bagi penjawab pertama, kedua, dan ketiga yang mampu menjawab dengan benar, akan
mendapat hadiah sederhana. Cerita ini Insya Allah akan berakhir di Chapter 5.
Wassalamu’alaikum warohmatullahi
wabarokatuh
Salmatun Niswa
Sebelumnya:
Masya tampak menimbang-nimbang. Tatapannya masih datar
namun dia tampak berpikir. Mungkin dia akhirnya akan berubah pikiran dan
mengikutinya ke Suriah. Setidaknya, itulah pikiran Kashva sebelum sebuah tinju
melayang ke arahnya. Yup, Mashya meninjunya hingga pingsan.
Chapter 3: Astu
Kashva
bangun di tempat yang asing baginya. Dia memegangi rahangnya yang masih
berdenyut-denyut. Bengkak, namun tidak menggembung dan masih terasa sakit. “Mashya…..lancang.”,
gumamnya setelah mengingat apa yang dia alami sebelumnya. Kashva segera bangkit
dan melihat sekelilingnya. Kotak kayunya tergeletak disampingnya. Punggungnya
bersandar pada sebuah batang pohon berdaun lebat. Hari sudah malam dan nampak nyala
beberapa api unggun tak jauh dari tempatnya berada. Aku berada di perkampungan penduduk.
Api
unggun itu berjumlah tujuh buah dan masing-masing dikelilingi oleh beberapa
orang sehingga tampak ramai. “Tujuh api unggun.”, batin Kashva. Dia segera
ingat kepercayaan masyarakat Persia. Tujuh adalah bilangan ganjil pembawa
keberuntungan. Kashva sendiri justru tidak terlalu percaya dengan mitos seperti
itu. Seorang laki-laki berdiri di depan api unggun pertama dan mulai
berkomat-kamit. “Sorkhi ye to az man o
zardiye man be to. Berikanlah binar merah kesehatanmu padaku dan ambillah
rona pucat kesakitanku.” , bisik
Kashva. Dia yakin, pasti laki-laki itu menggumamkan doa yang sama.
“Kau!”,
seru Kashva.
Kemarahan
seketika muncul dari dada Kashva. Raksasa itu—Mashya—tiba-tiba sudah berdiri di
sampingnya. Meski gelap menyembunyikan detail wajahnya, Kashva yakin dia tidak
akan keliru. “Kau pikir siapa dirimu?”
Mashya
tidak menjawab. Dia justru menyodorkan sebuah pir kepada Kashva.
“Harusnya
aku membalas perbuatanmu. Kau beruntung aku tidak menyukai kekerasan.”, ucap
Kashva. Dia meraih pir tak bertuan yang disodorkan oleh Mashya. Ekspresi Mashya
masih sedingin es, namun Kashva bisa meihat ketulusan dari matanya, meski
sedikit.
“Kau
menggendongku sejauh ini?”, tanya Kasvha sambil mengunyah pirnya perlahan.
Mashya duduk disebelahnya, masih diam. Tatapan matanya menerawang entah kemana.
Meski tak yakin berapa lama dia pingsan, Kashva yakin itu cukup lama. Selama
itu pula, Mashya menggendongnya di punggung atau di bahunya. Sebuah pekerjaan
yang patut dihargai.
“Berbicaralah
sedikit.”, kata Kashva. “Itu tidak akan mengurangi keangkeranmu.”
Dia
kembali menoleh ke arah Mashya, “Kau tidak makan?”
“Sebuah keluarga
mengundang kita untuk makan malam. Kita kesana sekarang.”, jawab Mashya sambil
berdiri.
“Diundang?
Kau punya kenalan disini?”
Mashya
menggeleng.
“Kalu
begitu aku tidak mau ikut. Jangan-jangan mereka terpaksa karena takut
denganmu.”
Mashya membelalakkan
matanya. Mulutnya terbuka dan bergerak-gerak, namun tidak mengeluarkan suara
apapun.
“Kalau
kita memang harus makan dirumah mereka,
setidaknya berikan uang ini untuk mereka.”, Kashva mengeluarkan beberapa koin dari
kantongnya dan menyerahkannya pada Mashya. Masyha sendiri tampak enggan dan
tidak mau mengambilnya.
“Kalau
kau tidak mau memberikan uang ini untuk keluarga itu, sampai matipun aku tidak
mau pergi kesana dan kau tidak akan bisa memaksaku.”, suara Kashva menegar.
Tangannya yang memegang koin masih menjulur ke arah Mashya.
Mashya
masih tidak mengeluarkan suaranya. Dia hanya meraih koin itu lalu berbalik dan
mulai berjalan. Kashva mengikutinya dari belakang tanpa berniat menyamakan
langkahnya. Rumah yang mereka datangi tersusun dari bata merah dengan halaman
yang ramai dengan pohon ceri. Agak beda dengan rumah Persia normal yang pada
umumnya terbuat dari beton putih. Tuan rumahnya adalah seorang lelaki keriput
yang tampak ramah. Sebelum memasuki rumah itu, Kashva mengamati ekspresi lelaki
tua itu. Mata cekungnya, ekspresi wajahnya, bahasa tubuhnya. Kashva yakin dia
bisa menyadari jikalau ada pemaksaan dibalik sikap sang tuan rumah. Sementara
waktu, dia percaya semua baik-baik saja.
Dua Hari kemudian
Kashva
sudah hampir menyerah mencoba berbicara dengan Mashya. Raksasa itu selalu
menjawab seperlunya jika Kashva mengajaknya bicara. Itu jika beruntung. Tak jarang
Mashya menanggapi ucapan Kashva dengan diam.
“Aku mau
istirahat dulu.”, Kashva menghentikan langkahnya di pinggir aliran sungai. Desa
Gathas sudah ada di depan mata, hanya tinggal berjalan beberapa puluh meter
lagi.
“Kita
beristirahat disana.”, Mashya menunjuk perkampungan.
“Kau
kesanalah dulu. Aku ingin sendiri. Nanti aku menyusul.”, Kashva duduk dan
menyandarkan punggunggnya di batang pohon. Kotak kayunya dia geletakkan tepat
disampingnya. Terasa beban berat dipunggungnya sudah hilang, berganti dengan
beban berat yang terasa di dadanya.
Mashya
masih tidak mengeluarkan suara, hanya mulutnya yang bergerak-gerak seperti
sedang mengunyah. Mungkin dia sedang mengunyah kekesalannya, Kashva tidak
peduli. Mashya berbalik dan berjalan pergi. Dia sebenarnya tidak sepenuhnya
meninggalkan kashva sendirian, Mashya hanya menghilang di balik pepohonan untuk
mencari tempat yang nyaman selama menunggui Kashva.
Beban berat yang ada di dadanya sudah ada sejak
Mashya memutuskan mereka akan ke Gathas. Hanya saja, beban itu terasa
bertambah-tambah seiring dengan semakin dekatnya mereka di Gathas. Kashva
menghela napas panjang dan mengeluarkannya perlahan, seakan berharap dengan itu
bisa menghilangkan beban berat di dadanya. Pikirannya mulai menerawang.
Gemerisik suara air sungai membantunya mengingat kejadian sepuluh tahun lalu
secara jelas. Terasa seperti kemarin.
Flashback: Sepuluh
tahun lalu
“Aku
kelelahan.”, suara gadis itu membuat Kashva tersenyum.
“Apakah
kau lelah bicara denganku?”
“Ya, aku
lelah bicara denganmu.” Wanita bernama Astu itu menjawab sambil tersenyum,
membuat perkataannya tidak cocok dengan ekspresi wajahnya.
Wajah
manis itu membuat Kashva tersenyum. Bukan senyum yang bisa mengobati
perasaannya sekarang ini, namun senyum yang bisa menghilangkan sejenak rasa
sakit yang dirasakannya sekarang. Gadis bernama Astu itu sibuk berbicara
mengenai mengenai ajaran Zardhust dan juru selamat sedangkan pikiran Kashva
sedang sibuk mengembara. Kashva jauh-jauh datang dari kuil Gunung Sistan untuk
bertemu dengan Astu, putri Yim yang kedua. Kashva mendesah, dia tidak
mengharapkan sesuatu yang muluk-muluk. Dia akan datang untuk Astu demi alasan
apapun asalkan jangan ini, asalkan bukan karena Astu akan menikah dengan anak
kepala desa Gathas.
Hanya
dengan mengingat alasan Kashva ada di Gathas sudah cukup membuat dadanya
berdenyut, mungkin mati rasa lebih baik. Pernikahan Astu dan anak kepala desa
Gathas merupakan perjodohan yang dilakukan oleh kedua orang tua mereka. Anak
kepala desa itu tampak tidak keberatan, entah bagaimana dengan Astu. Lagipula,
meskipun Astu keberatan ataupun tidak, hal itu tetap tidak akan mempengaruhi
pernikahannya jika mengingat derajat wanita di Persia. Jadi, inilah mereka.
Duduk berdua di pinggir desa Gathas, mungkin untuk terakhir kalinya.
Flashback End
Kashva
menghentikan kenangan-kenangan yang berjumpalitan dalam pikirannya. Dia tahu
dia harus segera menyusul Kashva atau Mashya akan menjemputnya. Dia tidak
pernah keberatan dijemput seseorang, asalkan bukan raksasa yang tidak
segan-segan menggunakan tinjunya. Kashva bangkit dan mulai berjalan menuju
desa. Mashya diam-diam ikut bangkit dan mulai berjalan dibelakangnya.
“Paman.”
Kashva
tersentak, matanya memandang sosok kecil di samping kakinya. Senyumnya
menggemaskan, pipinya tembam, lensa matanya coklat dan bulat sempurna. Bocah
yang barangkali turun dari surga. Umurnya empat atau lima tahun. Berdiri dengan
tangan menyatu di belakang, menyembunyikan sesuatu, dan tubuh mengayun ke
kiri-kanan.
“Siapa
namamu, sayang?”
“Paman,
kunyah ini.”
Bukan
jawaban, namun permintaan. Tangan mungil gemuknya menyodorkan sebentuk bunga
kering berwarna gelap.
“Apa
ini?”
“Paman,
kunyah ini.”
Ekspresi
Kashva berusaha mengimbangi gaya si bocah. Dia tersenyum dan kedua alisnya
terangkat. Seolah-olah ingin mengatakan, “Aku tahu kau merencanakan sesuatu
yang kekanak-kanakan. Sesuatu yang akan membuatku tampak konyol sedangkan kau
tertawa terbahak-bahak.” Kashva menjumput bunga itu.
Si bocah
berkata, “Paman, letakkan bunga itu di bawah lidah.”
Kashva
menuruti keinginan teman kecilnya. Seketika matanya membelalak. Ada yang meledak
di mulutnya. Rasanya seperti mengunyah bara api. Kulit wajahnya memerah
seketika. Lidahnya kehilangan kemampuan mengecapnya. Kashva mendengar bocah itu
tertawa penuh kemenangan sementara dia merasakan paru-parunya seperti dijejali
dorongan yang berat tetapi menjadikannya
lapang.
“Apa
yang kau berikan pada Paman, Berandal Kecil?” Kashva menggendongnya dan mulai
menciumi pipi gembilnya. Bocah itu masih tertawa terbahak-bahak sementara suara
tawanya menjadi petunjuk arah bagi seseorang yang sedari tadi memang
mencarinya.
“Xerxes,
kenakalan apalagi yang kau lakukan?”
Suara
perempuan. Terdengar tenang dan penuh perhatian. Seorang wanita mengenakan topi
petani menghampiri mereka. Perempuan itu membawa dua keranjang yang berisi
kurma dan plum di kedua tangannya. Kashva menganggukkan kepalanya, sementara
bocah itu meletakkan kepalanya pada bahu Kashva—pura-pura tidur.
“Maaf
atas kelancangan anak saya. Dia merasa melakukan penemuan besar dengan bunga
cengkihnya. Mengerjai orang-orang dengan rasa pedasnya.” Si ibu menunjukkan
rasa bersalah dari gerak tubuhnya yang gelisah.
“Cengkih?”
Kashva baru pertama kali mendengar dan merasakan efek bunga kering itu.
Perempuan
itu mengangguk. Ada yang berubah dari gerak-geriknya. Dia seperti sedang
melakukan konfirmasi dengan pandangannya sedangkan mulutnya terus berbicara.
“Cengkih, ratunya rempah-rempah. Datang dari ujung dunia. Hanya tumbuh di
sekumpulan pulau yang mengambang ditengah samudera: Alifuru” Jeda sejenak.
“Saya benar-benar minta maaf.”
“Dia
sangat menyenangkan, Nyonya. Tidak merepotkan sama sekali.”
Perempuan
itu meletakkan kedua keranjangnya lalu membuka topinya. “Kau sudah datang
rupanya, Kashva.”
Kashva
merasakan perasaan yang tak dikenalnya muncul. Bibirnya terasa beku, Jantungnya
terasa dirajam. Kakinya terasa mengambang. Dia mengenali wajah wanita itu meski
penuh ragu. “Astu? Kaukah itu?”
Insyaa Allah
bersambung