Assalamu’alaikum
warohmatullahi wabarokatuh…
Maaf
apabila chapter lanjutannya lama sekali. Tolong dimaklumi karena saya terhalang
oleh UAS dan liburan, jadi yaaahhh baru sempat melanjutkan sekarang.
Oh
ya!‼ Mengenai pertanyaan yang saya ajukan di chapter pertama, sudah ada
pemenang pertama, lho! Penasaran siapa pemenangnya?? Yup, siapa lagi kalau
bukan Mas Adi sang ketua Rohis. (Maaf hadiahnya belum sempat saya berikan)
Dengan
ini, maka hadiah sederhananya masih tersisa untuk dua orang lagi. Saya masih
menunggu pemenang kedua dan ketiga. Bagi yang lupa pertanyaannya, silahkan baca
di bawah ini.
Pertanyaan: Coba tebak siapa Kashva?
Ketentuan:
Cerita berjudul “Kashva: Sang Pencari Asvat Ereta” ini akan hadir secara
bersambung dan diupdate Insya Allah setiap 3 sampai 6 hari sekali. Cerita akan
diupload di blog stan2014bdkmalang.blogspot.com
Bagi yang berminat, untuk menjawab pertanyaan diatas, silahkan mengirim jawaban
dan alasan ke nomor 085736588692. Bagi penjawab pertama, kedua, dan ketiga yang
mampu menjawab dengan benar, akan mendapat hadiah sederhana. Cerita ini Insya
Allah akan berakhir di Chapter 5.
Wassalamu’alaikum
warohmatullahi wabarokatuh
Salmatun Niswa
Sebelumnya:
“Baginda, Bangsa Persia sudah tidak mampu menjaga
keutuhan ajaran Zardusht. Kita mulai mencampakkan perjanjian api dengan Tuhan.
Bangsa ini menuju ke dalam remah-remah suatu kaum dan kitab suci mulai menjadi
remah-remah sebuah agama. Sekarang ini, Baginda, Nun jauh disuatu tempat,
seorang pria nan mulia telah menyempurnakan ajaran Zardusht. Bukankah ini
waktunya bagi kita untuk menyambut dan mengikutinya?”
Sang
Raja tercekat. Dadanya bergemuruh menahan kemarahan. Berusaha tetap tenang,
Sang Raja berucap, “Kashva. Seharusnya sekarang aku memerintahkan algojoku untuk
memenggal kepalamu. Membiarkan kepalamu menggelinding dan darahmu mengotori
lantaiku.”
Chapter 2 : Awal Pelarian
Suara Khosrou menggelegar
diikuti dengan kesunyian yang mencekam. Rakyat menahan napas, pembesar kerajaan
terpaku, sedangkan Kashva hanya diam dan pasrah terhadap apa yang akan menimpanya.
“Namun aku masih mengasihi usia
mudamu, gejolak remajamu, kecermelangan otakmu, dan keindahan sastramu. Karena
itulah, kuperintahkan kau kembali ke Kuil Gunung Sistan untuk menghakimi dirimu
sendiri. Renungkan kelancanganmu sampai kuampuni nyawamu secara penuh.” Sang
Raja berdiri dengan cepat. Tangannya menunjuk Kashva dengan emosi, “Kau pikir
di kolong langit ini ada kekuatan yang mampu mengotori tanah Persia?
Merendahkan kekuasaan penerus Darius?”
Kashva hanya bisa diam dan
mendengarkan. Dia berusaha agar tidak terlihat gentar mengingat penguasa nomor
satu di Persia sedang membentak padanya. Mesipun diam, dia sedang membulatkan
tekat. “Aku akan meninggalkan Persia!”, batin Kashva ketika sang Raja berbalik
meninggalkannya.
Kuil Gunung
Sistan, Persia
Tanpa membuang waktu, Kashva
segera berkemas. Dia memasukkan beberapa keping koin emas dan bergulung-gulung
papirus—kertas berupa daun lontar—ke dalam kotak kayu. Dia menjaga
gulungan-gulungan itu bagaikan nyawanya sendiri, melebihi perlakuannya terhadap
kitab Zardhust. Padahal, gulungan-gulungan itu hanya berisi tulisan-tulisan
dari teman-temannya dari berbagai pelosok dunia. Selama tinggal di kuil Gunung
Sistan selama kurang lebih sepuluh tahun, Kashva selalu berkirim surat dengan
keempat sahabat penanya. Pemikir di India, seorang rahib yang tinggal di biara
yang berada di lereng Gunung Anyameqen di Tibet, seorang penjaga sinagog—gereja
agama Yahudi—di Mesir, dan Penjaga
perpustakaan biara di Bashrah, Suriah. Selama bertahun-tahun, kelima orang dengan
agama yang berbeda ini selalu berkirim surat bertemakan Juru Selamat yang akan
muncul berdasarkan versi mereka sendiri-sendiri. Surat-surat itulah harta
Kashva yang paling berharga.
Menurut Kashva, penjaga
perpustakaan biara dari Bashrar merupakan temannya yang paling istimewa. El,
namanya. Surat-suratnya selalu datang membawa pendapat dan kisah-kisah menarik
seputar sang Juru selamat. Kashva tersenyum mengingat surat-sirat dari El. Dia
menggulung surat-suratnya dengan hati-hati dan bergumam, “Kita akan segera
bertemu, sahabatku. Aku akan ke Suriah. Ya..…menemuimu adalah tujuan yang
paling masuk akal dalam pelarian ini.”
Usai memasukkan gulungan
terakhir dari El ke dalam kotak kayu miliknya, Kashva mengedarkan pandangannya
pada ruang kerjanya. Ada rasa kepiluan mengingat dia mungkin tidak akan pernah
kembali ke tempat itu lagi. Kashva bisa saja memilih untuk tetap tinggal, hidup
berkecukupan, dan dihormati andaikan dia tetap bungkam terhadap adanya Juru
selamat yang akan menduduki Persia dan membenarkan ajaran Zardhust. Namun, hasratnya
terhadap kebenaran mengalahkan semuanya. Dia tahu dan harus menyampaikan. Dia memilih pergi dari Persia, meninggalkan
semuanya daripada bungkam tanpa berbuat apa-apa.
“Makan malam sudah siap Tuan.”,
sebuah suara membawanya kembali ke dunia nyata. Kashva menoleh dan mendapati
Yim, kepala rumah tangga di kuil tersebut, sedang melongokkan kepalanya dari
balik pintu. Yim awalnya adalah seorang lelaki miskin dari sebuah desa terpencil
di Persia. Dia memulai semuanya dari nol hingga diberi kepercayaan oleh sang
Raja untuk menjadi pengurus Kuil Gunung Sistan. Kini diusianya yang sudah
kepala 8, dia masih bekerja di tempat yang sama dan menjadi orang terdekat Kashva.
Kashva sendiri sudah menganggapnya sebagai ayah.
Kashva mengikuti Yim menuju
ruang makan. Tampak banyak sekali hidangan mewah yang nampak rapi diatas meja
panjang yang ada di tengah ruangan. Kontras dengan makanannya, kursi-kursi yang
mengelilingi meja tersebut justru tampak kosong, tanpa penghuni.
“Sepi sekali. Mana yang lain,
Yim?”, tanya Kashva
“Mereka semua menghadiri
festival musim semi di kota, Tuan.”, jawab Yim santai
Kashva menatapnya dengan tatapan
heran, “Yim, jika semuanya menghadiri festival sedangkan kau ada di sini
bersamaku, kau pasti akan dicurigai membantuku melarikan diri. Itu bukan alibi
yang bagus, Yim.”
“Tuan, untuk apa saya melihat
festival musim semi? Jika dihitung mulai saya berusia sepuluh tahun, berarti
sudah 70 festival yang saya lewati.”
Kashva mengalah dalam perdebatan
tersebut dan memilih duduk di meja makan. Dia tahu bahwa keputusan Yim tidak
dapat diubah sedikitpun. Kashva mengambil hidangan yang ada di depannya sambil
berpikir. Inilah makan malam terakhirnya di Kuil Gunung Sistan.
Di Pinggir sungai
Mughrab
Kashva merapatkan penutup
kepalanya yang terbuat dari kulit, seolah berharap dengan begitu wajahnya bisa
tersamarkan. Namun, siapa yang tidak kenal Kasvha yang dijuluki sebagai
Pemindai Surga? Kashva sudah berjalan cukup jauh dari gunung Sistan. Inilah
jarak terjauh yang pernah dilaluinya dengan jalan kaki. Atas panduan Yim, Kashva
diminta untuk menunggu datangnya orang bernama Mashya di sekitar sungai
Mughrab, tepatnya di samping Makam Cyrus—penguasa Persia yang pertama. Mashya
adalah orang kepercayaan Yim yang akan membantu pelarian Kashva. Kashva sendiri
sadar, dia tidak akan selamat dari kejaran tentara Persia jika mengandalkan
dirinya sendiri. Tubuhnya jarang dilatih bela diri, pengetahuannya seputar
jalan-jalan di Persia terbatas, ditambah kenyataan dia sangat jarang keluar
dari Kuil Gunung Sistan sejak sepuluh tahun terakhir. Kashva benar-benar butuh
bantuan.
Sembari menunggu, dia mengamati
teks yang tertulis di dinding putih makam Cyrus.
Selamat datang, peziarah. Aku telah menantikanmu, di
hadapanmu Cyrus berbaring, Raja Asia, pemimpin dunia. Yang tertinggal dari
dirinya hanyalah debu. Janganlah kau iri padaku.
Kashva
mendesah. Dia memahami pesan yang tertulis dari teks itu. Dia juga paham bahwa
ada semangat milik Cyrus yang tidak diwariskan kepada para penerus Persia
setelahnya. Saat dia tengah melamun, terdengar suara gemerisik dari balik
pepohonan. Dia segera berdiri dan bersiaga sembari menajamkan pendengarannya.
Suara itu semakin dekat. Terdengar jelas suara jejak kaki yang mendekati
tempatnya berdiri.
“Tuan
Kashva?”, sebuah suara terdengar dari belakangnya.
Kasvha
berbalik dan melihat sesuatu yang tidak pernah terlintas dipikirannya. Sesosok
raksasa! Paling tidak manusia yang menyerupai raksasa. Berdiri angker dengan
kepala plontos. Tingginya sekepala diatas Kashva. Kashva mulai membayangkan
orang itu bisa saja meremukkan tulang-tulangnya hanya dengan menautkan kedua lengannya.
Lengan yang mengembung seukuran paha lelaki kebanyakan. Mungkin Kashva
berlebihan. Mungkin lengannya tidak sebesar paha lelaki kebanyakan, namun tetap
saja ukuran tubuhnya tidak bisa disebut normal. Bukan hanya tubuh, wajah
raksasa itu juga tidak wajar. Wajahnya menceritakan kepribadian yang pendiam
namun sarat dengan rasa marah. Dahinya seperti
selalu berkerut, menahan beban kegusaran. Ekspresi bibirnya datar, tidak
menyeringai namun juga tidak tersenyum. Di malam yang gelap saat itupun,
wajahnya jelas tampak serius dan…… beringas.
“Engkau
Mashya?”, tanya Kashva setelah pulih dari kekagetannya.
Bukannya
menjawab, raksasa itu justru berkata, “Tempat ini tidak aman. Kita akan pergi
ke Gathas. ”
Kashva
terkejut. Untuk apa mereka ke Gathas? Tempat itu berlawanan arah dengan tempat
tujuannya—Suriah—ditambah dengan masa lalunya yang menyedihkan di tempat itu
sepuluh tahun lalu. Tidak! Dia tidak sudi pergi ke Gathas!
“Mashya,
aku tidak mau pergi ke Gathas. Aku ingin pergi ke Suriah.”
“Tuan
Kashva, semua orang tahu bahwa tujuanmu pastilah Suriah. Raja pasti sudah
mengetatkan jalur-jalur menuju kesana. Sekarang kita harus ke Gathas.
Setidaknya disana kita masih aman untuk sementara.”, ucap Masya masih dengan
ekspresi dan nada yang datar.
Kali
ini, Kashva tidak menjawab. Dia tahu bahwa alasan Mashya bahwa Raja mungkin
sudah mengetatkan jalur menuju Suriah memang masuk akal. Tapi dia masih belum
mau pergi ke Gathas. Kashva sadar bertengkar dengan Mashya hanya akan
membahayakan nyawanya, maka dia lebih memilih untuk menurut. Setidaknya, untuk
sementara waktu.
Mashya
segera berbalik dan mulai melangkahkan kakinya. Langkah kakinya begitu lebar
sehingga Kashva harus berlari untuk menyusulnya. Hal itu tidak mudah bagi Kashva. Dia baru
saja menuruni Gunung Sistan dan bergegas menuju makam Cyrus yang jaraknya
berpuluh-puluh kilometer. Semuanya dilakukan dengan jalan kaki. Jadi, masuk
akal jika sekarang Kashva berlari sambil ngos-ngosan. Setelah sejajar dengan
Mashya, Kashva mendongak dan bertanya, “Mana kudamu , Mashya?”
Mashya
berhenti seketika. “Tidak ada kuda. Kita jalan kaki.”, jawabnya masih dengan
wajah datar. Kontras sekali dengan wajah Kashva yang berubah terkejut.
“Tidak
ada kuda? Bagaimana mungkin kita ke Gathas hanya dengan jalan kaki? Berapa lama
kita bisa sampai di Gathas?”
Masya
menyipitkan matanya, “Dengan langkah kakimu yang seperti itu, kita baru bisa sampai setidaknya satu minggu.”
Itu adalah ejekan Mashya yang pertama.
“Satu
minggu? Jalan kaki? Tidak! Aku tidak mau. Lagipula untuk apa kita ke Gathas?
Daripada jalan kaki ke Gathas, lebih baik aku ke Suriah. Dan lagi Masya, kau
diminta oleh Yim untuk membantu pelarianku. Berarti yang berkepentingan disini
adalah aku. Dan aku adalah majikanmu. Jadi aku yang mengatur, bukan kau Mashya.
Sekarang kita akan ke Suriah dan kau yang jadi pemanduku.” Kashva sudah mulai
kesal dengan mashya. Dia tidak mau ke Gathas, apalagi jika menempuh waktu satu
minggu jalan kaki.
Masya
tampak menimbang-nimbang. Tatapannya masih datar namun dia tampak berpikir.
Mungkin dia akhirnya akan berubah pikiran dan mengikutinya ke Suriah.
Setidaknya, itulah pikiran Kashva sebelum sebuah tinju melayang ke arahnya.
Yup, Mashya meninjunya hingga pingsan.
Insya Allah bersambung
0 komentar:
Posting Komentar