By: Muhammad Rizky Hilmy Pajak C
Salah
satu definisi Penghindaran Pajak (tax
avoidance) adalah “arrangement
of a transaction in order to obtain a tax advantage, benefit, or reduction in a
manner unintended by the tax law” (Brown,
2012). Untuk memperjelas, penghindaran pajak umumnya dapat dibedakan dari
penggelapan pajak (tax
evasion), di mana penggelapan pajak terkait dengan penggunaan
cara-cara yang melanggar hukum untuk mengurangi atau menghilangkan beban pajak
sedangkan penghindaran pajak dilakukan secara “legal” dengan memanfaatkan celah
(loopholes) yang terdapat dalam peraturan
perpajakan yang ada untuk menghindari pembayaran pajak, atau melakukan
transaksi yang tidak memiliki tujuan selain untuk menghindari pajak.
Penghindaran
pajak sering dikaitkan dengan perencanaan pajak (tax planning), di mana keduanya sama-sama
menggunakan cara yang legal untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan
kewajiban pajak. Akan tetapi, perencanaan pajak tidak diperdebatkan mengenai
keabsahannya, sedangkan penghindaran pajak merupakan sesuatu yang secara umum
dianggap sebagai tindakan yang tidak dapat diterima.
Batas antara penghindaran pajak dengan perencanaan pajak sering
kali tidak jelas. Diskusi terkait sejauh mana batas yang diperkenankan untuk
membedakan praktik perencanaan pajak yang dapat diterima dengan penghindaran
pajak yang tidak dapat diterima merupakan subjek debat yang berkepanjangan dan
sering diselesaikan melalui proses sampai ke tingkat pengadilan tertinggi.
Artikel ini akan berusaha mengelaborasi pendekatan yang lazim digunakan untuk
menentukan batas-batas tersebut, serta praktik yang digunakan untuk mencegah
dan melawan praktik penghindaran pajak.
The Westminster Principle
Berbicara mengenai penghindaran
pajak tidak dapat dilepaskan dari suatu pandangan bahwa karena tidak ada
hukum yang dilanggar, penghindaran pajak seharusnya tidak dilarang. Setiap
orang memiliki kebebasan untuk mengatur urusannya masing-masing sebagaimana dia
kehendaki, dan selama tidak ada peraturan yang dilanggar maka otoritas pajak
tidak dapat melakukan intervensi.
Pendapat
tersebut di atas pertama kali disuarakan dalam putusan pengadilan tertinggi di
Inggris dalam kasus yang sangat terkenal yang disebut The
Duke of Westminster Case (IRC v Duke of Westminster, 1936). Kasus
tersebut terkait dengan suatu kesepakatan antara The Duke of Westminster dengan
tukang kebunnya untuk merubah pembayaran gaji tukang kebunnya tersebut menjadi
pembayaran anuitas sebagai balas atas jasa-jasa yang telah dilakukan tukang
kebunnya di masa lalu. Dalam peraturan perpajakan Inggris pada saat itu,
pembayaran anuitas tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajaknya
Duke of Westminster, sedangkan pembayaran gaji merupakan biaya yang tidak dapat
dikurangkan.
Komisaris
pajak melakukan koreksi atas pembayaran tersebut, dengan menyatakan bahwa
pembayaran anuitas tersebut secara substansi merupakan pembayaran gaji,
sehingga tidak dapat dikurangkan sebagai biaya. Kasus tersebut berakhir di di
pengadilan, di mana hakim menolak koreksi yang dilakukan oleh komisaris pajak
tersebut dengan mengatakan:
Every
man is entitled, if he can, to order his affairs so that the tax attaching
under the appropriate Acts is less than it otherwise would be. If he succeeds
in ordering them so as to secure this result, then, however unappreciative the
Commissioners of Inland Revenue or his fellow taxpayers may be of his
ingenuity, he cannot be compelled to pay an increased tax. (IRC v Duke of
Westminster, 1936)
Prinsip
dalam kasus The Duke of Westminster tersebut masih bergaung sampai dengan saat
ini dan sering kali dikutip dalam beberapa putusan pengadilan yang menyangkut
penghindaran pajak, termasuk di Indonesia di mana -walaupun tanpa sumber
referensi-, prinsip tersebut dikutip dalam Putusan Pengadilan Pajak nomor PUT.
29050/PP/M.III/13/2011, di mana hakim berpendapat: “...Wajib
Pajak pada dasarnya bebas untuk mengatur bagaimana mereka bertransaksi untuk
menekan beban pajaknya sepanjang tidak melanggar undang-undang perpajakan...”
Prinsip dalam kasus The Duke of Westminster ini di negara
asalnya pada akhirnya telah dibantah melalui kasus Ramsay (W. T. Ramsay v.
IRC, 1982) di tahun 1982. Akan tetapi, secara umum doktrin Westminster masih
sering dikutip untuk menekankan bahwa penghindaran pajak tidak dapat ditolak
semata-mata karena penilaian subjektif dari Otoritas Pajak.
Melawan Penghindaran Pajak
Walaupun secara literal tidak ada hukum yang dilanggar, semua
pihak sepakat bahwa penghindaran pajak merupakan sesuatu yang secara praktik
tidak dapat diterima. Hal ini dikarenakan penghindaran pajak secara langsung
berdampak pada tergerusnya basis pajak, yang mengakibatkan berkurangnya
penerimaan pajak yang dibutuhkan oleh negara.
Dari sudut pandang kebijakan pajak, pembiaran terhadap praktik
penghindaran pajak dapat mengakibatkan ketidakadilan dan berkurangnya efisiensi
dari suatu sistem perpajakan. Penghindaran pajak umumnya dilakukan melalui
skema-skema transaksi yang kompleks yang dirancang secara sistematis dan
umumnya hanya dapat dilakukan oleh korporasi besar. Hal inilah yang menimbulkan
persepsi ketidakadilan, di mana korporasi besar tampaknya membayar pajak yang
lebih sedikit. Hal ini pada ujungnya dapat menimbulkan keengganan Wajib Pajak
yang lain untuk membayar pajak yang berakibat pada inefektifitas sistem
perpajakan.
Secara
umum dikenal dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk memerangi praktik
penghindaran pajak (Arnold, 2008). Yang pertama dengan pendekatan tanpa
menggunakan ketentuan khusus dalam peraturan melalui judicial
general anti avoidance doctrine (judicial doctrine) yang dikembangkan terutama oleh
putusan pengadilan, yang kedua melalui statutory general anti avoidance rule
(GAAR) yaitu
ketentuan khusus dalam peraturan yang memberikan kewenangan kepada otoritas
pajak untuk membatalkan manfaat dari transaksi yang memenuhi kriteria sebagai
penghindaran pajak.
Dalam
menafsirkan peraturan terutama sehubungan dengan penghindaran pajak, dikenal
dua pendekatan yang berlawanan; pertama pendekatan literal, di mana peraturan
ditafsirkan berdasarkan apa yang secara eksplisit tercantum dalam naskah
peraturan. Kedua, berseberangan dengan pendekatan pertama adalah pendekatanpurposive, di mana dalam menafsirkan
peraturan juga dipertimbangkan tujuan dan latar belakang dari dibuatnya
peraturan tersebut.
Judicial
doctrine dalam
melawan penghindaran pajak dikembangkan terutama oleh negara-negara yang
peradilannya berani menggunakan pendekatan purposive dalam menafsirkan peraturan,
karena sifat dari penghindaran pajak sebagaimana telah dijelaskan secara
literal tidak bertentangan dengan teks yang tercantum dalam peraturan perpajakan,
sehingga diperlukan penafsiran alternatif yang menyimpang dari teks peraturan.
Di
negara-negara yang peradilannya masih cenderung menggunakan penafsiran literal,
dapat dikatakan bahwa penggunaan judicial doctrine untuk melawan penghindaran
pajak tidak banyak berkembang. Hal ini sering kali mendorong negara-negara
untuk mencantumkan dalam peraturan perpajakannya ketentuan khusus dalam bentukstatutory general anti avoidance rule.
Judicial General Anti Avoidance Doctrine
Sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya, judicial doctrine dikembangkan terutama dari
putusan-putusan pengadilan terkait dengan penghindaran pajak. Berbagai
yurisdiksi banyak mengembangkan judicial doctrinemasing-masing,
dan pada paragraf berikut akan dijelaskan beberapa judicial
doctrine yang
paling umum digunakan.
Economic
Substance Doctrine
Inti
dari economic substance doctrine adalah bahwa suatu skema transaksi
yang memiliki dampak berkurangnya beban pajak hanya dapat diakui apabila
transaksi tersebut memiliki substansi ekonomi, dan mengandung pertimbangan
selain pajak serta tidak semata-mata dilakukan untuk penghindaran pajak.
(Arnold, 2008)
Economic
substance doctrine berasal
dari sebuah kasus penghindaran pajak di Amerika Serikat, dimana Mr. Gregory,
pemilik tunggal sebuah perusahaan yang memiliki surat berharga pada perusahaan
lainnya. Mr Gregory kemudian membuat sebuah perusahaan baru dengan tujuan untuk
mengkonversi penghasilan berupa ordinary income dari surat berharga tersebut
yang dikenakan pajak menjadi capital gain yang berdasarkan peraturan pada
saat itu tidak dikenakan pajak. (Gregory v. Helvering, 1935)
Dihadapkan pada skema tersebut, hakim yang menghakimi perkara
tersebut mengeluarkan pendapat sebagai berikut:
Putting
aside, then, the question of motive in respect of taxation altogether, and
fixing the character of the proceeding by what actually occurred, what do we
find? Simply an operation having no business or corporate purpose — a mere
device which put on the form of a corporate reorganization as a disguise for concealing
its real character ... (Gregory v. Helvering, 1935)
Doktrin
ini kemudian dikutip dan dikembangkan lebih lanjut dalam putusan-putusan
terkait dengan kasus penghindaran pajak di Amerika Serikat, dan saat ini economic
substance doctrine telah berkembang menjadi dengan
apa yang dikenal sebagai two prong test, yaitu objective
economic substance dan subjective
business purpose. Tes tersebut menjelaskan bahwa sebuah skema
penghindaran pajak dapat dibatalkan apabila (i) Wajib Pajak melakukan transaksi
yang tidak memiliki tujuan bisnis selain untuk mengurangi pajak (ii) transaksi
tersebut tidak memiliki substansi ekonomis karena tidak ditemukan adanya
kemungkinan keuntungan selain pajak. (Frank Lyon v. United States, 1978).
Step
Transaction Doctrine
Step transaction
doctrine juga
diperkenalkan di Amerika Serikat, diantaranya digunakan dalam kasus Minnesota
Tea Co. V. Helvering (Minnesota Tea Co. v Helvering, 1938). Dalam kasus
tersebut, untuk membayar hutang perusahaan, Minnesota Tea Co. Melakukan
reorganisasi perusahaan dengan menukar asetnya dan menerima saham dan sejumlah
uang dari perusahaan lain. Uang tersebut dibagikan kepada pemegang sahamnya
dalam bentuk distribusi laba, kemudian pemegang saham tersebut menyerahkan uang
yang mereka terima kepada debitur dari Minnesota Tea Co. Akibat dari transaksi
tersebut, karena berbentuk distribusi kepada pemegang saham maka tidak
dikenakan pajak, walaupun secara substansi uang tersebut akhirnya diserahkan
kepada pemegang saham tersebut kepada debitur perusahaan.
Dalam
sidang banding, Hakim memutuskan untuk tidak menerima transaksi tersebut, dan
membatalkan skema penghindaran pajak yang dilakukan. Kutipan dari pendapat
hakim dalam putusannya sebagai berikut: “A given result at the end of a
straight path is not made a different result because reached by following a
devious path” (Minnesota
Tea Co. v Helvering, 1938). Hakim pada intinya memutuskan bahwa karena ujung
dari rangkaian transaksi tersebut adalah pelunasan hutang, maka secara
perpajakan akan diperlakukan sebagai pembayaran utang yang dikenakan pajak.
Substance
over Form Doctrine
Prinsip substance
over form pada
dasarnya menjelaskan bahwa hak dan kewajiban yang timbul secara formal sebagai
akibat dari transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak akan tetap diakui, akan
tetapi karakterisasi dari transaksi yang dilakukan untuk tujuan pajak akan
ditentukan berdasarkan bagaimana secara substansi peraturan perpajakan
mengkarakterisasikan hasil dari transaksi tersebut (Arnold, 2008), sehingga
berdasarkan prinsip ini, fakta dan konsekuensi perpajakan dari sebuah transaksi
ditentukan berdasarkan substansi komersial yang timbul, dan tidak semata-mata
dilihat dari bentuk formalnya. (Lampreave, 2012)
Doktrin substance
over form merupakan
salah satu doktrin yang paling dikenal di Indonesia, akan tetapi aplikasinya
dalam praktik belum terlalu umum digunakan kecuali sebagai tambahan penguat
argumen untuk dasar koreksi dalam pemeriksaan, seperti dalam penentuan beneficial
owner, dividen
terselubung dan lain sebagainya.
Statutory General Anti Avoidance Rule
Selain
melalui pendekatan judicial doctrine, beberapa negara memilih
pendekatan berbeda untuk mencegah penghindaran pajak, yaitu dengan membuat
suatu statutory general anti avoidance rule berupa ketentuan khusus yang
dicantumkan dalam peraturan perpajakannya yang bertujuan untuk melawan
penghindaran pajak.
Walaupun
dalam perumusannya menggunakan pendekatan yang berbeda-beda, secara umum
terdapat dua fitur utama yang tersirat dalam berbagai statutory
GAAR yang diadopsi
oleh berbagai negara, fitur tersebut yaitu (1) tujuan dari transaksi atau
rangkaian transaksi yang terkait, (2) Apakah outcome dari transaksi tersebut selaras dengan
apa yang menjadi tujuan dari peraturan perpajakan terkait. (Arnold, 2008)
Untuk
memberikan gambaran penggunaan statutory general anti avoidance rule untuk melawan penghindaran
pajak, berikut diuraikan praktik yang dilakukan oleh negara Australia dan
Kanada dalam merancang sebuah statutory general anti avoidance rule.
Australia
Australia
telah memiliki statutory general anti avoidance rule sejak tahun 1915, kemudian
mengalami amandemen pertama di tahun 1936 dalam section 260 Income Tax Assessment Act 1936 dan kemudian di tahun 1981 menjadi
Part IVA.
Dalam
part IVA tersebut, diatur bahwa otoritas pajak berwenang
untuk membatalkan tax benefit yang dihasilkan dari sebuah
skema apabila dapat disimpulkan bahwa tujuan utama dari salah satu atau lebih
pihak yang terkait dengan skema tersebut adalah untuk mendapatkan tax
benefit dimaksud (Brown,
2012).
Inti
pengaturan dari statutory general anti avoidance rule di Australia dapat dilihat di
section 177D dalam Part IVA, di mana diatur:
This
part applies to any
scheme ... where:
(a) a
taxpayer ... has
obtained or would ... obtain
a tax benefit ... and
(b) ... it
would be concluded that the person, or one of the persons, who entered into or
carried out the scheme or any part of the scheme did so for the purpose of
enabling the relevant taxpayer to obtain a tax benefit in
connection with the scheme ...
Penerapan statutory
general anti avoidance rule di
Australia mencakup identifikasi suatu skema, penentuan adanyatax benefit, dan apakah dari fakta-fakta
yang berkaitan dengan skema tersebut, dapat secara objektif disimpulkan bahwa
tujuan dari pihak atau salah satu pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut
adalah untuk mendapatkan tax benefit dimaksud.
Dari drafting Part IVA, pendekatan yang
digunakan oleh Otoritas Pajak Australia adalah menggunakan pendekatanpurpose atau tujuan, dalam hal ini yang
dimaksud adalah predominant purpose atau main purpose yang ditentukan secara objektif
dari para pihak atau salah satu pihak yang terlibat dalam skema penghindaran
pajak dimaksud (Pagone, 2010).
Penggunaan main
purpose test di Part
IVA tersebut berdampak bahwa walaupun suatu skema penghindaran pajak masih
memiliki tujuan komersial, akan tetapi apabila tujuan utamanya adalah
penghindaran pajak tersebut skema tersebut tetap dapat dibatalkan menggunakan statutory
general anti avoidance rule di
Australia.
Kanada
Kanada
memiliki statutory general anti avoidance rule dalam section 245 Undang-undang Pajaknya
sejak tahun 1988, yang memberikan diskresi kepada otoritas pajak untuk
menentukan kembali untuk kepentingan perpajakan dampak dari suatu skema tax
avoidance atau aggresive tax planning.
Transaksi avoidance dalam ketentuan perpajakan
Kanada didefinisikan sebagai: “a transaction or series of
transactions that would result, directly or indirectly, in a tax benefit,
unless the transaction may reasonably be considered to have been undertaken or
arranged primarily for bona fide purposes other than to obtain the tax
benefit.” (Brown, 2012)
Dalam
menentukan apakah suatu transaksi atau rangkaian transaksi dapat dikenakan
ketentuan dalam statutory general anti avoidance rule, terdapat tiga pertanyaan atau
tahapan yang harus dijawab, (1) apakah terdapat tax
benefit? (2)
apakah transaksi yang menimbulkan tax benefit tersebut memenuhi syarat
sebagai transaksiavoidance? (3) apakah transaksi avoidance yang menimbulkan tax
benefit tersebut abusive?
(Canada Trustco Mortgage Co. v. Canada, 2005)
Jadi,
berdasarkan ketentuan statutory general anti avoidance rule di Kanada, sebuah transaksi tax
avoidance hanya
dapat dibatalkan apabila transaksi tersebut abusive. Sebuah transaksi avoidance dikatakan abusive apabila
dampak substansi ekonomis yang ditimbulkan dari transaksi tersebut walaupun
selaras dengan teks peraturan, akan tetapi tidak selaras dengan apa yang
menjadi maksud, semangat atau tujuan dari peraturan tersebut (Copthorne
Holdings Ltd. v. Canada, 2011).
Dari
uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa berbeda dari Australia yang
menggunakan pendekatan tujuan dari pihak yang bertransaksi, Kanada menggunakan
pendekatan dengan melihat maksud dan tujuan dari suatu peraturan dalam melawan
penghindaran pajak. Dalam hal ini tujuan atau motif dari pihak atau para pihak
yang melakukan transaksi avoidance tidak relevan dalam penerapan statutory
general anti avoidance rule di
Kanada.
Kesimpulan
Penghindaran pajak merupakan suatu praktik yang secara umum
disepakati sebagai suatu tindakan yang tidak dapat diterima dan harus dicegah
serta dilawan. Akan tetapi, kenyataan bahwa penghindaran pajak dilakukan dengan
memanfaatkan celah dalam peraturan perpajakan sehingga secara literal tidak
melanggar hukum membuat isu tersebut menjadi isu diskusi yang tak kunjung usai.
Dalam melawan penghindaran pajak, saat ini dikenal dua
pendekatan utama, pertama melalui judicial general anti avoidance
doctrine yang dikembangkan oleh pengadilan, kedua melalui sebuah statutory
general anti avoidance rule yang dicantumkan dalam peraturan perpajakan.
Belajar
dari praktik di negara lain, dalam kasus Indonesia kedua pendekatan tersebut
dapat dipertimbangkan, akan tetapi pendekatan pertama melalui judicial
doctrine secara
budaya hukum di Indonesia bisa jadi lebih sulit diterapkan karena penafsiran
perundangan di Indonesia masih cenderung literal, sebagaimana telah ditunjukkan
dalam beberapa putusan pengadilan pajak yang dalam dasar koreksi pemeriksaan
menggunakan doktrinsubstance
over form.
Mempertimbangkan
budaya penafsiran peraturan yang literal tersebut, untuk melawan penghindaran
pajak diperlukan sebuah dasar hukum yang secara eksplisit tertulis dalam
Undang-undang Perpajakan. Akan tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan bagi
otoritas pajak Indonesia untuk mencoba menggunakan judicial
doctrine yang
sudah dikenal di negara lain sebagai test case dalam rangka mendorong
pengadilan pajak untuk menerapkan doktrin-doktrin tersebut dalam menghadapi
penghindaran pajak.
Saat
ini, untuk meminimalisir praktik penghindaran pajak di Undang-undang perpajakan
sudah dikenal peraturanspecific
anti avoidance rule dalam
Pasal 18 Undang-undang Pajak Penghasilan, akan tetapi seiring semakin
kompleksnya skema-skema penghindaran pajak yang digunakan, ketentuan dalam Pasal
18 tersebut tentu tidak mungkin dapat mencakup seluruh jenis transaksi
penghindaran pajak. Oleh karena itu, mencegah dan melawan praktik penghindaran
pajak, pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan untuk menyusun dan
memperkenalkan suatu statutory general anti avoidance rule di Undang-undang perpajakan di
Indonesia, dengan mengambil pelajaran dari negara lain yang telah menerapkan
ketentuan tersebut dalam peraturan mereka.
Perlu
diingat bahwa dalam menyusun sebuah statutory general anti avoidance rule perlu dipertimbangkan
keseimbangan antara penegakan hukum dengan kepastian hukum bagi Wajib Pajak.
Jetentuan statutory general anti avoidance rule memberikan diskresi yang sangat
luas bagi otoritas perpajakan untuk melakukan penelitian yang mendalam atas sebuah
skema transaksi dan melakukan koreksi apabila skema tersebut disimpulkan
sebagai sebuah transaksi penghindaran pajak.
Diskresi
luas yang diberikan oleh suatu general anti voidance rule juga rawan untuk disalahgunakan
oleh otoritas pajak untuk melakukan koreksi yang kurang tepat, sehingga sering
kali usaha untuk memperkenalan sebuahstatutory
general anti avoidance rule menghadapi
perlawanan dari dunia usaha. Hal ini ditunjukkan oleh pengalaman di India, di
mana penerapan statutory general anti avoidance rule yang diperkenalkan tahun 2012
di negara tersebut terpaksa ditunda pelaksanaannya sampai tahun 2016 karena
penolakan dari dunia usaha.
*)
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap
instansi dimana penulis bekerja
**) Penulis
adalah Alumni D4 STAN dan S2 dari the University of Melbourne Australia
Bibliography
Gregory v. Helvering, 293 U.S. 465 (1935) 468-470 (Supreme Court
(US) 1935).
IRC v Duke of Westminster, AC 1 (HL) (House of Lords (UK) 1936).
Minnesota Tea Co. v Helvering, (1938) 302 US 609 (USSC) (Supreme
Court (US) 1938).
Frank Lyon v. United States, 435 U.S. 561, 583-84 (1978)
(Supreme Court (US) 1978).
W. T. Ramsay v. IRC, [1982] 1 A.C. 300 (High Court (UK) 1982).
Canada Trustco Mortgage Co. v. Canada, [2005] 2 S.C.R. 601
(Supreme Court (Canada) 2005).
Copthorne Holdings Ltd. v. Canada, 2011 SCC 63 (Suprem Court
(Canada) 2011).
Arnold,
B. (2008). A Comparison of Statutory General Anti-Avoidance Rules and Judicial
General Anti-Avoidance Doctrines as a Means of Controlling Tax Avoidance: Which
is Better? Dalam P. H. John Avery Jones, Comparative Perspectives on Revenue
Law (hal. 1).
Cambridge: Cambridge University Press.
Brown,
K. B. (2012). A Comparative Look at Regulation of
Corporate Tax Avoidance. New
York: Springer.
Lampreave,
D. P. (2012). An Assessment of the Anti-Tax Avoidance Doctrines in the United
States and the European Union. BULLETIN FOR INTERNATIONAL TAXATION,
153-169.
Pagone,
G. (2010). Tax Avoudance in Australia. Sydney: The Federation Press.
0 komentar:
Posting Komentar